Bab 9. Big Bang
sumber: google.com
Kosmologi
Bagi banyak orang,
yang tidak terbiasa dengan pemikiran dialektik, pandangan tentang
ketakberhinggaan atau infiniti pasti sulit diterima. Pandangan ini terlalu jauh
bedanya dengan dunia sehari-hari yang terbatas ini. Terlebih lagi, ia sangat
berbeda dengan ajaran dari banyak agama utama. Sebagian besar agama-agama kuno
memiliki Mitos Penciptaan. Kaum Terpelajar Yahudi di Abad Pertengahan
menetapkan hari penciptaan pada tahun 3760 SM, dan nyatanya, kalender Yahudi
bermula pada tahun tersebut. Di tahun 1658, Uskup Ussher menetapkan bahwa alam
semesta ini diciptakan di tahun 4004 SM. Sepanjang abad ke-18, alam semesta ini
dianggap berumur enam atau tujuh ribu tahun.
Tapi – Anda mungkin
membantah –sains abad ke-20 tidak memiliki persamaan apapun dengan semua mitos
Penciptaan itu! Dengan metode-metode ilmiah modern kita dapat memperoleh satu
gambaran yang akurat akan ukuran dan asal-usul alam semesta. Sayangnya,
persoalannya tidaklah semudah itu. Pertama, sekalipun ada kemajuan-kemajuan
raksasa yang kita capai, jangkauan alam semesta yang dapat kita amati masih
sangat terbatas oleh terbatasnya kemampuan informasi dari teleskop,
radio-teleskop dan satelit yang paling kuat sekalipun. Kedua, dan merupakan
alasan yang lebih serius, cara yang digunakan untuk menginterpretasi
hasil-hasil pengamatan ini masih sangat spekulatif, sering kali menyentuh
batas-batas mistisisme. Terlalu sering, kita mendapat kesan bahwa kita memang
telah mundur ke dunia Mitos Penciptaan (“the Big Bang”), lengkap dengan sahabat
karibnya, Hari Penghakiman Terakhir (“the Big Crunch”).
Secara bertahap, dimulai dengan penemuan teleskop, kemajuan teknologi telah mendorong batas-batas alam semesta semakin jauh dan semakin jauh. Lengkung kristal yang sejak jamannya Aristoteles dan Ptolomeus telah tertanam dalam benak manusia, akhirnya dihancurkan, bersama segala macam rintangan yang ditempatkan oleh prasangka-prasangka religius dari Abad Pertengahan untuk menghalangi kemajuan.
Di tahun 1755, Kant
mempostulatkan keberadaan kumpulan bintang-bintang yang jauh, yang disebutnya
“pulau alam semesta”. Namun, sampai tahun 1924, alam semesta ini masih dianggap
hanya berdiameter 200.000 tahun cahaya dan terdiri dari tiga galaksi saja:
galaksi kita dan dua tetangga yang lain. Kemudian kosmologis Amerika, Edwin
Powell Hubble, dengan menggunakan teleskop 100 inci yang baru di Gunung Wilson,
menunjukkan bahwa Nebula Andromeda berada jauh di luar galaksi kita. Lalu
galaksi-galaksi lain yang lebih jauh lagi juga ditemukan. Hipotesis “pulau alam
semesta” Kant terbukti tepat. Dengan demikian, alam semesta ini “mengembang”
dengan cepat – dalam pikiran manusia – dan masih terus mengembang sejak itu,
sejalan dengan ditemukannya benda-benda langit yang semakin lama semakin jauh.
Bukannya 200.000 tahun cahaya, kini alam semesta dianggap berdiameter puluhan
miliar tahun cahaya, dan waktu akan membuktikan bahwa bahkan perhitungan kita
yang sekarang sama sekali tidak cukup besar. Karena alam semesta ini, seperti
anggapan Nicolas dari Cusa dan lain-lain, adalah infinit. Sebelum Perang Dunia
II, usia alam semesta ini dianggap hanya dua miliar tahun. Sedikit lebih baik
dari perhitungan Uskup Ussher. Tapi masih juga keliru besar. Sekarang ada
perdebatan tajam di antara para pendukung teori Big Bang mengenai usia alam
semesta yang semestinya. Kita akan kembali pada hal ini nanti.
Teori Big Bang
sebenarnya adalah sebuah mitos Penciptaan (seperti yang dinyatakan oleh Kitab
Kejadian). Ia menyatakan bahwa alam semesta mulai ada sekitar 15 miliar tahun
lalu. Sebelumnya, menurut teori ini, tidak ada alam semesta, tidak ada materi,
tidak ada ruang, dan jika Anda suka, tidak ada waktu juga. Pada waktu itu,
semua materi di alam semesta, katanya, terkonsentrasi menjadi satu titik saja.
Titik yang tidak kasat mata ini, yang bagi para penganut teori Big Bang disebut
singularitas, lalu meledak, dengan kekuatan yang sedemikian rupa sehingga ia
tiba-tiba menjadi seluruh alam semesta ini, yang kini terus mengembang sebagai
akibat ledakan itu. Inilah saat di mana “waktu dimulai”. Jika Anda berpikir
bahwa ini adalah semacam lelucon, buang pikiran itu jauh-jauh. Inilah yang
dinyatakan oleh Teori Big Bang.Inilah apa yang kini benar-benar dipercaya oleh
sebagian besar profesor di universitas, yang memiliki serangkaian panjang huruf
di belakang nama mereka itu. Ada bukti yang sangat jelas mengenai pergeseran ke
arah mistisisme di dalam tulisan dari sebagian komunitas ilmuwan. Pada
tahun-tahun terakhir, kita telah saksikan banjir buku-buku sains yang, di balik
kedok upaya memopulerkan teori-teori alam semesta yang terbaru, berupaya
menyelundupkan berbagai jenis pandangan religius, khususnya, dalam hubungannya
dengan apa yang disebut teori Big Bang.
The New Scientist (edisi 7 Mei
1994) menerbitkan satu artikel berjudul In the Beginning Was the Bang (Pada
Mulanya adalah Ledakan).[1] Penulisnya, Colin Price, yang
terlatih dan bekerja sebagai seorang ilmuwan, tapi kini adalah seorang pendeta
aliran Congregationalist. Ia mulai dengan satu pertanyaan: “Apakah kisah Big
Bang benar-benar sesuai dengan kitab suci? Atau sebaliknya, apakah kisah dalam
Kejadian memang benar-benar ilmiah?” Dan ia mengakhiri tulisannya dengan
penegasan yang sangat percaya diri: “Tidak seorang pun akan menyepakati teori
Big Bang lebih penuh daripada para penulis kedua bab pertama dari Kitab
Kejadian.”Ini cukup wajar mengingat filsafat mistik yang berada di balik teori
Big Bang.
Efek Doppler
Di tahun 1915, Albert
Einstein mengajukan teorinya tentang relativitas umum. Sebelum penemuan ini,
pandangan umum tentang alam semesta diturunkan dari model mekanika klasik
Newton abad ke-18. Bagi Newton, alam semesta ini nampak seperti mekanisme
sebuah jam raksasa, yang mematuhi sejumlah hukum-hukum gerak yang tidak
berubah. Alam semesta iniinfinit, tapi pada hakikatnya tidak pernah berubah.
Pandangan tentang alam semesta ini mengandung segala macam cacat yang diderita
semua teori-teori yang mekanistik, non-dialektis. Ia statis.
Di tahun 1929, Edwin
Hubble, dengan menggunakan teleskop baru yang amat kuat, menunjukkan bahwa alam
semesta ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan semula. Lebih jauh lagi, ia
mencatat satu gejala yang semula tidak teramati. Ketika cahaya mencapai mata
kita dari sebuah benda yang bergerak, ia menghasilkan satu pergeseran dalam
frekuensi. Hal ini dapat dinyatakan dalam bentuk warna spektrum. Ketika sebuah
sumber cahaya berjalan mendekati kita, warnanya bergeser ke arah frekuensi yang
lebih tinggi (ungu). Ketika ia menjauh, kita melihat pergeseran warna ke arah
frekuensi yang lebih rendah (merah). Teori ini, yang pertama kali dikemukakan
oleh fisikawan Austria, Christian Doppler, dikenal sebagai “Efek Doppler”, dan
memiliki implikasi-implikasi penting dalam astronomi. Bintang-bintang nampak
seperti sebuah pola cahaya dengan latar belakang yang gelap. Melihat bahwa
kebanyakan bintang menunjukkan pergeseran ke arah warna merah, pengamatan
Hubble memberikan ide bahwa galaksi-galaksi sedang bergerak menjauhi kita
dengan kecepatan yang sebanding dengan jarak dari galaksi-galaksi itu. Ini
kemudian dikenal sebagai Hukum Hubble, sekalipun Hubble sendiri tidak berpikir
bahwa alam semesta ini sedang mengembang.
Hubble mengamati
bahwa ada sebuah korelasi antara pergeseran merah dan jarak galaksi, seperti
yang terukur oleh terang galaksi. Nampaknya galaksi terjauh yang bisa diamati
saat itu sedang bergerak dengan kecepatan 40.000 km/detik. Dengan datangnya
teleskop 200 inci yang baru di tahun 1960-an, bahkan benda-benda langit yang
semakin jauh bisa terdeteksi, yang bergerak dengan kecepatan 240.000 km/detik.
Dari pengamatan ini, hipotesis tentang “alam semesta yang mengembang” dibangun.
Di samping itu, “persamaan medan” dari teori relativitas umum Einstein dapat
diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga persamaan itu sesuai dengan ide ini.
Dari gagasan ini, disimpulkan jika alam semesta ini sedang mengembang, ia pasti
lebih kecil di masa lalu. Konsekuensinya adalah hipotesis bahwa alam
semestamestinya dimulai dari sebuah inti materi yang padat. Ini bukan gagasan
asli Hubble. Ide ini diajukan di tahun 1922 oleh ahli matematika Rusia,
Alexander Friedmann. Lalu di tahun 1927, Georges Lemaître pertama kali
mengungkapkan idenya tentang “telur kosmis”. Dari sudut pandang materialisme
dialektik, ide tentang alam semesta yang tidak pernah berubah dan tertutup,
yang dalam keadaan kesetimbangan yang permanen, jelas tidak tepat. Dengan
demikian,langkah untuk meninggalkan pandangan ini tentunya adalah sebuah langkah
maju.
Teori Friedmann diberi dorongan yang penting oleh pengamatan
Hubble dan Wirtz. Penemuan-penemuan ini nampaknya mengindikasikan bahwa alam
semesta, atau setidaknya bagian yang dapat kita amati, sedang mengembang. Ini
segera diraup oleh Georges Lemaître, seorang pastur Belgia, yang mencoba
membuktikan bahwa, jika alam semesta ini memiliki ruang yang finit, ia harus
pula finit dalam waktu – ia harus memiliki satu awal. Bergunanya teori tersebut
bagi Gereja Katolik tidak dapat diragukan lagi. Ia membuka lebar-lebar satu
pintu kepada ide tentang Sang Pencipta, yang, setelah diusir keluar dari alam
semesta oleh ilmu pengetahuan, kini sedang bersiap untuk kembali dengan megah
sebagai “Cosmic Ju-Ju Man”. “Saya pikir waktu itu,” kata Hannes Alfvén bertahun-tahun
kemudian, “bahwa motivasi untuk teori ini adalah kebutuhan Lemaître untuk
mendamaikan fisikanya dengan doktrin Gereja tentang penciptaan ex
nihilo [dari kekosongan].”[2] Lemaître belakangan mendapatkan
hadiah dengan diangkat menjadi direktur Akademi Ilmu Pengetahuan Kepausan.
Bagaimana Teori Ini Berkembang
Sebenarnya tidak
tepat kalau kita merujuk pada “satu teori Big Bang”. Nyatanya, setidaknya ada
lima teori Big Bang yang sudah diajukan, semuanya telah menemui
kesulitan-kesulitan. Yang pertama, seperti yang telah kita lihat, dikemukakan
di tahun 1927 oleh Lemaître. Teori ini segera ditolak berdasarkan beberapa hal
– kesimpulan yang keliru atas relativitas umum dan termodinamika, teori yang
keliru tentang sinar kosmis dan evolusi bintang-bintang, dan lain-lain. Pasca
Perang Dunia II, teori yang telah dipermalukan ini dihidupkan lagi oleh George
Gamow dan kawan-kawannya dalam bentuk baru. Sejumlah perhitungan dimajukan oleh
Gamow dan kawan-kawannya, (bukannya tanpa sejumlah “akuntansi kreatif” ilmiah)
untuk menjelaskan berbagai gejala yang akan terjadi akibat Big Bang itu –
densitas materi, suhu, tingkat radiasi, dan seterusnya. Gaya penulisan Gamow
yang gemilang menjamin teori Big Bang meresap ke dalam imajinasi populer.
Sekali lagi teori itu membentur kesulitan-kesulitan yang serius.
Sejumlah ketidakcocokan ditemukan, yang membuktikan keliru bukan
saja model Gamow, tapi juga model “alam semesta yang berosilasi” (oscillating
universe) yang dikerjakan oleh Robert Dicke dan lain-lain, dalam
upaya untuk mengatasi masalah tentang apa yang terjadi sebelum Big Bang, dengan
membuat alam semestaberosilasi dalam sebuah siklus yang tanpa akhir. Tapi Gamow
telah membuat satu prediksi yang penting – bahwa ledakan yang demikian besar
pasti meninggalkan bukti dalam bentuk “radiasi latar belakang”, sejenis gema
dari Big Bangdi luar angkasa. Ini digunakan untuk menghidupkan kembali teori
Big Bang beberapa tahun kemudian.
Sejak awal, ada oposisi terhadap ide ini. Di tahun 1928 Thomas
Gold dan Hermann Bondi mengajukan teori “steady state”
(keadaan tetap) sebagai sebuah alternatif, yang kemudian dipopulerkan oleh Fred
Hoyle. Walaupun teori itu menerima sebuahalam semesta yang mengembang, ia
mencoba menjelaskannya dengan “penciptaan materi dari ketiadaan secara
terus-menerus”. Katanya ini terjadi setiap saat, tapi dengan tingkat yang
demikian rendah sehingga tidak terdeteksi oleh teknologi masa kini. Ini berarti
bahwa alam semesta tidak berubah sepanjang segala abad, dari situlah nama “steady
state” didapatkan. Masalahnya bukannya tambah jelas malah tambah
kabur berantakan. Dari “telur kosmis” sampai ke“materi yang diciptakan dari
ketiadaan”! Kedua teori yang saling bersaing ini berseteru selama beberapa
dasawarsa.
Kenyataan bahwa banyak ilmuwan serius bersedia menerima
pandangan fantastis Hoyle tentang materi yang diciptakan dari ketiadaan itu
sendiri sesungguhnya sangat mengejutkan. Kemudian, teori ini terbukti keliru.
Teori steady statemengasumsikan bahwa alam semesta ini
homogen dalam ruang dan waktu. Jika alam semesta berada dalam keadaan steady
state sepanjang waktu, kepadatan dari benda-benda yang
memancarkan gelombang radio seharusnya konstan, karena semakin jauh kita
menjenguk ke angkasa luar, kita melihat semakin jauh ke belakang dalam waktu.
Akan tetapi, pengamatan menunjukkan bahwa hal ini tidak terjadi. Semakin jauh
kita melihat ke angkasa luar, semakin besar intensitas gelombang radio. Ini
membuktikan secara meyakinkan bahwa alam semesta berada dalam keadaan perubahan
dan evolusi yang konstan. Teori steady statekeliru.
Di tahun 1964, teori steady stateditumbangkan
oleh dua astronom muda Amerika Serikat, Arnas Penzias dan Robert Wilson, yang
menemukan radiasi latar belakang di angkasa luar. Radiasi latar belakang ini
segera dianggap sebagai “gema”Big Bang yang diramalkan oleh Gamow. Meski
demikian, terdapat berbagai ketidakcocokan. Suhu radiasi itu ternyata hanya 3,5
K, bukan 20 K seperti yang diramalkan Gamow, atau 30 K yang diramalkan
penerusnya, P. J. E. Peebles. Hasil ini malah lebih buruk sebenarnya. Karena
jumlah energi dalam sebuah medan adalah berbanding lurus dengan pangkat empat
dari suhunya, energi dari radiasi yang teramati sebenarnya adalah beberapa ribu
kali lebih lemah daripada apa yang diramalkan.
Robert Dicke dan P.
J. E. Peebles melanjutkan teori Gamow. Dicke menyadari bahwa ada cara untuk
mengatasi masalah tentang apa yang terjadi sebelum Big Bang, jika saja mereka
dapat kembali pada ide Einstein tentang alam semesta yang tertutup. Maka dapat
dikemukakan bahwa alam semesta akan mengembang untuk beberapa waktu, kemudian
runtuh menjadi satu titik tunggal (sebuah “singularitas”), atau hampir
mendekati singularitas, lalu kembali mengembang, seperti permainan ping-pong
kosmis yang berlangsung selamanya. Masalahnya Gamow telah menghitung energi dan
densitasalam semestayang lebih kecil daripada yang dibutuhkan untuk sebuahalam
semesta yang tertutup. Densitasnya dihitung sebesar sekitar dua atom per kubik
meter ruang angkasa; dan densitasenerginya, yakni prediksi suhu radiasi latar
belakang, yang katanya merupakan fosil dari Big Bang, 20 K. Nyatanya, Gamow
telah mematok angka-angka ini untuk membuktikan bahwa Big Bang menghasilkan
unsur-unsur berat, sesuatu yang tidak seorang pun akan menerimanya sekarang.
Maka Dicke tanpa basa-basi membuang semua perhitungan itu, dan memilih beberapa
angka yang baru dan sama acaknya, yang akan cocok untuk teori-nya tentang alam
semesta yang tertutup.
Dicke dan Peebles
memprediksi bahwa alam semesta akan dipenuhi dengan radiasi, terutama gelombang
radio, dengan suhu 30 K. Belakangan, Dicke mengklaim bahwa kelompoknya telah
memprediksi suhu 10 K, sekalipun prediksi ini tidak pernah muncul sekalipun di
dalam tulisan-tulisannya, dan masih melenceng jauh sekali dari hasil
pengamatan. Ini menunjukkan bahwa alam semestalebih cair daripada yang diprediksi
Gamow, dengan gravitasi yang lebih lemah, yang mengusik satu pertanyaan: dari
mana datangnya semuaenergi untuk menghasilkan Big Bang? Seperti yang
ditunjukkan oleh Eric Lerner:
“Bukannya membenarkan model Peebles-Dicke, penemuan
Penzias-Wilson jelas mencoret model alam semesta yang tertutup dan berosilasi”[3] Maka muncullah versi Big Bang yang
ketiga– apa yang dikenal sebagai model standar –yakni alam semesta terbuka yang
berada di dalam keadaan ekspansi yang permanen.
Fred Hoyle membuat
beberapa perhitungan yang rinci, dan mengumumkan bahwa Big Bang hanya akan
menghasilkan unsur-unsur ringan – helium, deuterium, dan lithium (dua yang
disebut belakangan sebenarnya unsur yang sangat jarang). Ia menghitung bahwa
jika densitasalam semesta adalah sekitar satu atom per delapan meter kubik,
jumlah dari ketiga unsur ringan ini akan cukup dekat dengan apa yang teramati.
Dengan cara ini, diajukanlah satu versi teori yang baru, yang sama sekali tidak
mirip teori-teori sebelumnya. Tidak lagi ada disebut tentang sinar kosmis ala
Lemaître, atau unsur berat-nya Gamow. Sebagai gantinya, bukti yang dikemukakan
adalah gelombang-mikro latar belakang dan ketiga unsur ringan tadi. Namun, ini
belum menjadi bukti meyakinkan bagi teori Big Bang. Satu masalah besar terletak
pada keseragaman ekstremdari radiasi gelombang-mikro latar belakang. Apa yang
disebut iregularitas di latar belakang ternyata demikian kecil sehingga
fluktuasi ini tidak akan pernah mendapat waktu yang cukup untuk berkembang
menjadi galaksi – kecuali jika ada lebih banyak materi (dan gravitasi yang
lebih kuat sebagai akibatnya) daripada yang sudah terbukti dari pengamatan.
Ada pula persoalan
lain. Bagaimana mungkin pecahan-pecahan materi yang beterbangan ke berbagai
arah itu semua sanggup mencapai suhu yang sama, dan pada waktu yang sama pula
(persoalan “horizon”)? Para pendukung teori ini mengajukan apa-yang-disebut
asal-usul alam semesta ini sebagai sebuah model matematika yang sempurna,
semuanya teratur sempurna, sebuah“Taman Eden yang berisi simetri, yang
karakter-karakternya bersesuaian dengan nalar murni,” seperti komentar Lerner.
Tapi alam semesta sama sekali tidak simetri sempurna. Ia tidak beraturan,
kontradiktif, “tidak mulus”. Sama sekali bukan seperti persamaan-persamaan yang
rapi dari Cambridge!Salah satu persoalannya adalah mengapa Big Bang tidak
menghasilkan alam semesta yang seragam? Mengapa materi dan energi awal yang
sederhana itu tidak menyebar merata saja sebagai awan debu dan gas yang maha
luas? Mengapa alam semesta kita demikian “tidak mulus”? Dari mana datangnya
semua galaksi dan bintang-bintang? Jadi bagaimana kita akan melangkah dari A ke
B? Bagaimana simetri sempurna alam semesta yang awal itu melahirkan alam
semesta yang tidak beraturan seperti yang kita lihat sekarang?
Teori “Inflasi”
Untuk mengatasi masalah ini, dan beberapa masalah lain, Alan
Guth, fisikawan Amerika, mengajukan teori“alam semesta yang melembung” [inflationary
universe]. (Mungkin bukan kebetulan kalau ide ini diajukan di tahun
1970-an, ketika dunia kapitalis tengah melewati sebuah krisis inflasi!) Menurut
teori ini, suhu jatuh demikian rendah sehingga tidak ada waktu bagi berbagai
medan untuk memisahkan diri atau untuk terbentuknya berbagai partikel.
Diferensiasi baru terjadi kemudian, ketika alam semestaini sudah jauh lebih
besar. Inilah versi yang paling baru dari Big Bang. Versi teori ini menyatakan
bahwa, pada saat Big Bang, alam semesta mengalami satu ekspansi eksponensial,
di mana ia memperbesar dirinya dua kali lipat setiap 10-35 detik (dari sini
nama “inflasi”). Sementara versi awal dari “model standar”menyatakan bahwa
besar alam semesta adalah sebesar buah anggur, Guth maju lebih jauh lagi. Ia
menghitung bahwa alam semesta tidak berawal dari sebesar buah anggur, tapi
miliaran kali lebih kecil daripadainti atom hidrogen. Lalu ia kemudian
melembung dalam kecepatan luar biasa – berkali lipat kecepatan cahaya, yang
186.000 mil per detik itu – sampai ia mencapai ukuran 1090 kali volume awalnya, yaitu 1 dengan 90 angka
nol di belakangnya!
Mari kita periksa
implikasi-implikasi dari teori ini. Seperti semua teori Big Bang lainnya, ia
berangkat dari hipotesis bahwa semua materi di alam semesta dimulai dengan
konsentrasi pada satu titik tunggal. Kesalahan fundamental di sini adalah
membayangkan bahwa 'alam semesta yang riil' adalah sama dengan 'alam semesta
yang teramati', dan kita dapat merekonstruksi seluruh sejarah alam semesta,
sebagai sebuah proses yang linear, tanpa memperhitungkan berbagai fase,
transisi, dan berbagai keadaan yang dilalui oleh materi.
Materialisme
dialektik memandang alam semesta sebagai infinit, tapi bukan statis atau dalam
keadaan “setimbang” yang permanen, seperti yang dibayangkan Einstein atau
Newton. Materi dan energi tidak dapat diciptakan atau dihancurkan, tapi ada
dalam proses pergerakan dan perubahan yang terus-menerus, yang melibatkan
ledakan berkala, pengembangan dan penyusutan, tarikan dan tolakan, kehidupan
dan kematian. Tidak ada yang mustahil secara intrinsik kalau ada satu, atau
banyak, ledakan dahsyat. Masalahnya di sini sangatlah berbeda –yakni sebuah
interpretasi mistis terhadapfenomena tertentu, seperti pergeseran spektrum Hubble,
dan sebuah upaya untuk menyelundupkan ide-ide religius tentang penciptaan alam
semesta ke dalam sains melalui pintu belakang.
Pertama, sangatlah
tidak terpikirkan bahwa semua materi di alam semesta terkonsentrasi dalam satu
titik tunggal “dengan densitasinfinit”. Mari kita perjelas makna pernyataan
ini. Pertama, mustahil untuk menempatkan materi dan energi yang infinit pada
ruang yang finit. Dengan kita bertanya saja kita sudah menjawabnya. “Ah!” kata
para penganut Big Bang, “tapi alam semesta ini bukannya infinit, tapi finit,
sesuai dengan teori relativitas umum Einstein.” Dalam bukunya, Eric Lerner
menunjukkan alam semesta yang jumlahnya infinit dimungkinkan oleh persamaan
Einstein. Friedmann dan Lemaître menunjukkan bahwa banyak persamaan menunjuk
pada ekspansialam semesta. Tapi tidak satu pundari persamaan ini yang menunjuk
pada keadaan “singularitas”. Kendati demikian, inilah varian yang diajukan
secara dogmatis oleh Guth & co.
Bahkan jika kita
menerima bahwa alam semesta ini finit, pandangan tentang “singularitas” akan
membawa kita pada kesimpulan yang bersifat sangat fantastis. Jika kita
menganggap bahwa sudut kecil alam semesta yang dapat kita amati adalah alam
semesta itu sendiri – satu asumsi sembarangan yang tidak memiliki basis ilmiah
atau logika apapun – maka kita berbicara tentang lebih dari 100 miliar galaksi,
yang masing-masing mengandung 100 miliar bintang utama (seperti matahari kita).
Menurut Guth, semua materi ini terkonsentrasi dalam sebuah ruang yang lebih
kecil daripada sebuah proton.Ketika ia telah hadir selama seperjuta dari
sepertriliun dari sepertriliun, dari sepertriliun detik dengan suhu satu miliar
miliar miliar derajat, hanya terdapat satu medan dan hanya satu jenis interaksi
partikel. Sejalan dengan mengembangnya alam semesta dan jatuhnya suhu, berbagai
jenis medan katanya “terkondensasi” dari keadaan awal yang bersahaja ini.
Pertanyaan yang muncul adalah dari mana datangnya energi untuk
mendorong ekspansi yang tak ada bandingnya itu. Untuk memecahkan masalah ini,
Guth menyandarkan diri pada satu medan gaya (force field)
hipotesis yang selalu ada ( “medan Higgs”), yang keberadaannya telah diprediksi
oleh beberapa fisikawan teoritik, tapi sampai sekarang tidak ada secuilpun
bukti yang membenarkan keberadaannya. “Dalam teori Guth,” komentar Eric Lerner,
“medan Higgs yang hadir dalam kehampaan menghasilkan semua energi yang
diperlukan dari ketiadaan – ex nihilo. Alam Semesta ini, seperti katanya,
adalah satu 'makan siang gratis’ yang besar, yang dibayari oleh medan Higgs
itu.”[4]
Materi-gelap?
Setiap kali teori Big Bang mendapat kesulitan, para pendukungnya
bukannya meninggalkannya, melainkan menempatkan garis gawang semakin ke
belakang. Mereka membuat asumsi-asumsi yang semakin lama semakin sembarangan
untuk mengapungkan terus teori itu. Contohnya, teori itu menuntut sejumlah
tertentu materi di alam semesta. Jika alam semesta diciptakan 15 miliar tahun
yang lalu, seperti yang diramalkan oleh model itu, tidak akan ada cukup waktu
bagi materi yang dapat kita amati untuk dapat menggumpal menjadi
galaksi-galaksi seperti Bima Sakti, tanpa bantuan dari “materi-gelap” [dark
matter] yang tak kasat mata. Menurut para kosmologis Big Bang,
supaya galaksi dapat terbentuk setelah Big Bang, haruslah terdapat cukup materi
di alam semestayang dapat menghentikan ekspansinya melalui hukum gravitasi. Ini
menuntut adanya densitas kira-kira 10 atom per meter kubik. Kenyataannya,
jumlah materi yang ada di alam semesta yang teramati saat ini adalah sekitar
satu atom per sepuluh meter kubik ruang – seratus kali lebih kecil dari jumlah
yang diprediksi oleh teori itu.
Para kosmologis
memutuskan untuk merepresentasikandensitasalam semesta sebagai sebuah
perbandingan dari densitas yang dibutuhkan untuk menghentikan ekspansi alam
semesta. Mereka menyebut perbandingan ini omega. Maka, jika omega sama dengan
1, ini cukup untuk menghentikan ekspansi. Sayangnya, nilai omega adalah sekitar
0,01 atau 0,02. Kira-kira 99% dari materi yang dibutuhkan telah “hilang”.
Bagaimana memecahkan teka-teki ini? Mudah sekali. Karena teori itu menuntut
materi itu ada di sana, mereka menetapkan nilai omega pada titik mendekati 1, lalu
memulai pencarian atas materi yang hilang itu! Problem pertama yang dihadapi
teori Big Bang adalah asal-usul galaksi-galaksi. Bagaimana mungkin satu radiasi
latar belakang yang demikian seragam menghasilkan alam semesta yang demikian
“tidak seragam”? Apa yang kemudian disebut “riak” (anisotropi) dalam radiasi
dianggap sebagai cerminan dari formasi gumpalan-gumpalan materi yang menjadi
titik fokal terbentuknya galaksi-galaksi awal. Tapi iregularitas yang teramati
terlalu kecil untuk dapat dianggap bertanggung jawab bagi pembentukan
galaksi-galaksi, kecuali jika terdapat lebih banyak lagi materi dan, dengan
demikian, lebih banyak gravitasi daripada apa yang teramati. Persisnya,
diperlukan 99% lebih banyak materi, yang tidak ada di sana.
Di sinilah konsep tentang “materi-gelap dingin” (cold
dark matter) memasuki panggung. Sangat penting untuk disadari bahwa
tidak seorang pun yang pernah melihat makhluk ini. Keberadaannya diajukan baru
sekitar sepuluh tahun lalu, untuk mengisi satu lubang dalam teori itu. Karena
hanya, mungkin, sekitar 1 atau 2 persen alam semesta ini yang terlihat oleh
kita, sisanya yang 99% itu katanya terdiri dari materi yang tak kasat mata,
yang gelap dan dingin, yang tidak memancarkan radiasi apapun. Partikel yang
aneh itu, setelah satu dasawarsa dicari-cari, masih belum didapati sampai
sekarang. Tapi mereka menempati posisi kunci di dalam teori itu, sekedar karena
teori itu menuntut kehadiran mereka di dalamnya.
Untungnya,
dimungkinkan bagi kita untuk menghitung secara cukup akurat jumlah materi di
alam semesta yang teramati. Nilainya sekitar satu atom tiap sepuluh meter kubik
ruang. Ini seratus kali lebih kecil daripada jumlah yang dituntut oleh teori
Big Bang. Tapi, seperti ungkapan favorit para wartawan, jangan biarkan fakta
merusak sebuah kisah yang bagus! Jika tidak terdapat cukup materi di alam
semesta untuk membuat teori tersebut cocok, maka pastilah terdapat sejumlah
besar materi di luar sana yang tidak terlihat oleh mata fana kita ini. Seperti
yang dikatakan oleh Brent Tully tentangnya, “Ini sangat mengganggu, melihat
bahwa ada teori baru setiap kali ada pengamatan baru.”
Pada tahap ini, para pembela teori Big Bang memutuskan untuk
memanggil bala bantuan dari Pasukan Kavaleri Ketujuh, dalam bentuk fisika
partikel. Misi yang harus mereka lakukan akan membuat John Wayne[5] malu. Hal paling berani yang pernah
ia lakukan adalah mencari wanita dan anak-anak yang diculik oleh orang-orang
Indian. Tapi, ketika para kosmologis memanggil bantuan rekan-rekan mereka yang
sedang sibuk mengorek-ngorek misteri mikrokosmos, permintaan mereka tiga kali
lipat lebih ambisius. Mereka meminta rekan-rekan mereka untuk menemukan sisa
99% dari alam semesta ini yang kelihatannya telah “hilang”. Jika mereka tidak
menemukan materi yang hilang itu, persamaan mereka tidak akan bekerja, dan
teori standar tentang asal-usul alam semesta akan jatuh ke dalam kesulitan
besar!
Dalam bukunya The Big Bang Never Happened,
Eric Lerner merinci serangkaian pengamatan, yang hasil-hasilnya tidak pernah
diterbitkan dalam jurnal-jurnal ilmiah, yang sepenuhnya mematahkan ide tentang
materi-gelap. Walau demikian, di hadapan segala bukti yang diajukan, para
penganjur teori Big Bang terus saja berperilaku seperti para pastur dan orang
terpelajar abad pertengahan yang menolak melihat melalui teleskop untuk menguji
kebenaran teori Galileo. Materi-gelap pasti ada – teori kami menuntut demikian!
“Pengujian dari teori-teori ilmiah,” tulis Lerner, “adalah
kesesuaian antara prediksi dan pengamatan, dan Big Bang telah gagal. Ia
memprediksi bahwa tidak boleh ada benda yang berumur lebih dari 20 miliar tahun
dan lebih besar dari 150 juta tahun cahaya dari ujung ke ujung. Namun pada
kenyataan ada. Ia memprediksi bahwa alam semesta, pada skala besar, haruslah
seragam dan homogen. Tidak demikian. Teori itu memprediksi bahwa, untuk
menghasilkan galaksi yang ada di sekitar kita dari fluktuasi super kecil yang
teramati pada radiasi latar belakang, haruslah ada materi-gelap seratus kali
lebih banyak daripada materi yang kita lihat di sekitar kita. Dan jika tidak
ada materi-gelap, teori itu memprediksi tidak akan ada satu pun galaksi yang
terbentuk. Walau demikian, kita lihat galaksi-galaksi itu berceceran di
angkasa. Kita hidup di dalam salah satunya.”[6]
Alan Guth berhasil menyingkirkan beberapa keberatan atas Big
Bang, tapi hanya dengan mengajukan versi teori Big Bang yang paling fantastis
dan ngawur yang pernah kita lihat. Ia tidak mengatakan apa yang menyusun
“materi-gelap” itu, tapi sekedar menyediakan satu pembenaran teoritik bagi para
kosmologis. Signifikansi penting dari versi ini adalah bahwa ia telah membangun
satu rantai antara kosmologi dan fisika partikel, yang bertahan sampai
sekarang. Masalahnya adalah bahwa terdapat kecenderungan umum di kalangan para
fisikawan teoritik, dan juga para kosmologis, untuk semakin hari semakin
bersandar para asumsi-asumsi matematika yang apriori untuk
membenarkan teori mereka, yang hanya mampu menghasilkan segelintir prediksi
yang dapat diuji dalam praktek. Teori yang dihasilkan semakin hari semakin
mengandung sifat yang fantastis dan acak, dan sering kali lebih mirip dengan
fiksi ilmiah ketimbang teori ilmiah.
Pada kenyataannya, para fisikawan partikel yang berbaris untuk
menjalankan misi penyelamatan itu sendiri masih memiliki banyak problem dalam
diri mereka sendiri. Alan Guth dan lain-lain sedang berupaya menemukan GUT
(Grand Unification Theory – Teori Penyatuan Besar) yang akan menyatukan tiga
gaya dasar yang bekerja di alam pada skala kecil – elektromagnetisme, weak
force (yang menyebabkan peluruhan radioaktif) dan strong
force (yang mengikat inti atom dan bertanggung jawab pada
pelepasan energi nuklir). Mereka berharap dapat mengulang kesuksesan Maxwell,
seratus tahun sebelumnya, yang telah membuktikan bahwa listrik dan magnet
sebenarnya adalah gaya yang satu dan sama. Fisika partikel sangat bergairah
untuk membangun aliansi dengan para kosmologis, dalam harapan untuk menemukan
di langit apa yang gagal mereka temukan di bumi. Pada kenyataannya, cara
pendekatan mereka mirip satu sama lain. Dengan hanya segelintir rujukan pada
pengamatan, mereka mendasarkan dirinya pada serangkaian model-model matematika,
dan asumsi-asumsi yang sembarangan, yang sering kali sedikit saja bedanya dari
spekulasi murni. Teori-teori telah muncul dengan cepat, yang satu lebih dahsyat
daripada pendahulunya. Teori “inflasi” tercampur aduk di tengah-tengah lautan
teori ini.
Neutrino Datang Menolong!
Keteguhan para pendukung Big Bangsering kali mendorong mereka
melakukan jungkir balik yang amat mengagumkan. Setelah pencarian yang sia-sia
akan 99% “materi-gelap dingin” yang hilang itu, mereka gagal menemukan apapun
yang mendekati kuantitas yang dituntut oleh teori mereka, untuk mencegah alam
semesta mengembang selamanya. Pada tanggal 18 Desember 1993, The
New Scientist menerbitkan satu artikel berjudul Universe
Will Expand Forever(Alam Semesta Akan Mengembang Selamanya). Di
sini diakui bahwa “sekelompok galaksi di konstelasi Cepheus mengandung jauh
lebih sedikit materi tak kasat mata daripada apa yang diduga beberapa bulan
yang lalu,” dan bahwa klaim yang dibuat terdahulu oleh para astronom Amerika
“didasarkan pada analisis yang penuh kekeliruan.” Sejumlah besar reputasi
ilmiah dipertaruhkan, belum lagi ratusan juta dolar yang dihabiskan dalam dana
penelitian. Apakah ini ada hubungannya dengan fanatisme terhadap Big Bang?
Seperti biasa, mereka hanya melihat apa yang ingin mereka lihat. Fakta harus
disesuaikan dengan teori!
Kenyataan bahwa mereka telah gagal menemukan “materi-gelap
dingin”, yang keberadaannya esensial untuk keberlangsungan teori itu, telah
menyebabkan keresahan di antara para ilmuwan di dalam komunitas ilmiah yang
lebih bisa berpikir. Satu editorial dari The New Scientist,
yang diterbitkan pada tanggal 4 Juni 1994 dengan judul yang sugestif A
Folly of Our Time? (Kebodohan pada Masa Kita?) membandingkan
ide tentang materi-gelap dengan konsep jaman Victoria, yang kini telah
disingkirkan, mengenai “ether”, satu medium tak kasat mata, yang katanya
merupakan medium di mana cahaya berjalan melintasi ruang:
“Ia tak kasat mata,
maha ada, dan, di akhir abad ke-19, tiap fisikawan mempercayai keberadaannya.
Ia adalah, tentu saja, aether, medium di mana mereka pikir cahaya melintas, dan
terbukti kemudian bahwa itu hanyalah hantu belaka. Cahaya tidak membutuhkan
sebuah medium untuk menjalar, tidak seperti suara.
“Kini, menjelang
akhir abad ke-20, para fisikawan kembali menemukan diri mereka berada dalam
situasi yang sangat mirip dengan rekan-rekan mereka dari jaman Victoria. Sekali
lagi mereka menaruh kepercayaan mereka pada sesuatu yang tak kasat mata dan
maha ada. Kali ini, makhluk itu adalah materi-gelap.”
Pada titik ini, kita
seharusnya berharap bahwa seorang ilmuwan yang serius akan mulai bertanya pada
dirinya sendiri apakah memang ada sesuatu yang salah dengan teori mereka.
Editorial itu kemudian melanjutkan:
“Dalam kosmologi,
parameter-parameter bebas nampaknya sedang meluas seperti kebakaran hutan. Jika
pengamatan tidak sesuai dengan teori, para kosmologis kelihatannya cukup puas
dengan menambahkan variabel-variabel baru. Dengan terus-menerus menambal teori
itu, kita mungkin justru tidak mampu melihat beberapa ide yang benar-benar
bagus.”
Sungguh. Tapi, jangan
biarkan “fakta” mengganggu perjalanan Anda. Seperti seorang pesulap menarik
kelinci dari sebuah topi, mereka tiba-tiba menemukan - neutrino!
Neutrino, yang
merupakan satu partikel sub-atomik, digambarkan oleh Hoffmann sebagai
“berfluktuasi tanpa kepastian antara keberadaan dan ketiadaan.” Ini sama dengan
mengatakan, dalam bahasa dialektik, “ia adalah dirinya dan sekaligus bukan
dirinya sendiri”. Bagaimana mungkin gejala ini didamaikan dengan hukum
identitas yang secara kategoris menyatakan bahwa suatu hal haruslah dirinya
sendiri atau bukan yang lain? Berhadapan dengan dilema ini, yang muncul setiap
kali mekanika kuantum berusaha menggambarkan dunia partikel sub-atomik, sering
kali ada kecenderungan untuk bersandar pada ide bahwa neutrino adalah sebuah
partikel yang tidak memiliki massa maupun muatan. Pendapat awal, yang masih
dipegang oleh banyak ilmuwan, adalah bahwa neutrino tidak memiliki massa, dan
karena tidak ada muatan listrik yang dapat hadir tanpa massa, kesimpulan yang
niscaya adalah bahwa neutrino tidak memiliki muatan apapun.
Neutrino adalah
partikel yang berukuran teramat kecil, dan karenanya sangat sulit untuk
dideteksi. Keberadaan neutrino pertama kali dipostulatkan untuk menjelaskan
ketidakcocokan dalam jumlah energi yang ada dalam partikel-partikel yang
dipancarkan dari inti atom. Sejumlah energi kelihatannya hilang, hal yang
mustahil. Karena hukum kekekalan energi menyatakan bahwa energi tidak akan
dapat diciptakan atau dihancurkan, gejala ini membutuhkan penjelasan lain.
Sekalipun kelihatannya fisikawan idealis Niels Bohr di tahun 1930 sudah siap
membuang hukum kekekalan energi ke laut, tindakan ini terbukti sedikit
prematur! Ketidakcocokan itu terjelaskan dengan penemuan partikel yang
sebelumnya tidak diketahui – neutrino.
Neutrino terbentuk di
inti matahari pada suhu 15 juta derajat Celcius, bergerak dengan kecepatan
cahaya untuk mencapai permukaan matahari dalam tiga detik. Mereka membanjir
menerobos alam semesta, menembus benda-benda padat, kelihatannya tanpa
berinteraksi sedikit pun dengan mereka. Neutrino demikian kecilnya sehingga
mereka dapat menembus langsung bumi dari satu permukaan ke permukaan di sisi
lain bumi. Demikian kecilnya dan sulit terdeteksi partikel ini sehingga
interaksi mereka dengan materi lain adalah minimal. Mereka dapat menembus bumi,
bahkan timbal padat, tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Sungguh, triliunan
neutrino sedang menembusi tubuh Anda sementara Anda membaca baris-baris ini.
Tapi kemungkinan bahwa salah satu di antaranya akan terjebak dalam tubuh Anda
demikian kecilnya sehingga Anda tidak perlu merasa khawatir. Telah diperkirakan
bahwa neutrino dapat menembus timbal padat setebal 100 tahun cahaya, dengan
kemungkinan terserap hanya 50%. Inilah mengapa ia tak pernah terdeteksi selama
berabad-abad. Sungguh, sangat sulit membayangkan bagaimana mungkin sebuah
partikel, yang demikian kecil sehingga ia diperkirakan tidak memiliki massa
ataupun muatan, dan dapat menembus timbal setebal 100 tahun cahaya, akan dapat
terdeteksi. Tapi ia telah berhasil dideteksi.
Kelihatannya beberapa
partikel neutrino dapat dihentikan oleh apa yang setara dengan sepersepuluh
inci timbal saja. Di tahun 1956, dengan menggunakan percobaan yang benar-benar
amat cerdik, para ilmuwan Amerika berhasil menjebak sebuah anti-neutrino. Lalu,
di tahun 1968, mereka menemukan neutrino dari matahari, sekalipun hanya
sepertiga dari jumlah yang diramalkan oleh teori yang sekarang ada. Tidak
diragukan bahwa neutrino memiliki properti-properti yang membuatnya tidak dapat
dideteksi dengan segera. Karena ukurannya yang demikian kecil, hal ini tidaklah
mengherankan. Tapi ide tentang bentuk materi yang tidak memiliki
properti-properti dasar materi jelas adalah sebuah kontradiksi. Kemudian,
masalah itu kelihatannya terpecahkan dari dua sumber yang berbeda. Yang
pertama, salah satu penemu neutrino, Frederick Reines, mengumumkan di tahun
1980 bahwa ia telah menemukan keberadaan getaran neutrino dalam sebuah
eksperimen. Hal ini akan menunjukkan bahwa neutrino memiliki massa, tapi hasil
eksperimennya tidak dilihat sebagai hasil yang konklusif.
Namun, para fisikawan
Soviet, yang terlibat dalam sebuaheksperimen yang sama sekali terpisah,
menunjukkan bahwa neutrino-elektron memiliki massa, yang mungkin sebesar 40
elektron volt. Karena ini hanya1/13000 dari massa elektron, yang pada
gilirannya hanyalah 1/2000 dari massa proton, sangat tidak mengherankan bahwa
neutrino lama diduga tidak memiliki massa.
Sampai baru-baru ini, pandangan umum dari kalangan ilmuwan
adalah bahwa neutrino tidak memiliki massa maupun muatan. Kini, mendadak,
mereka mengubah pikiran mereka dan menyatakan bahwa neutrino memiliki massa –
dan, mungkin, banyak. Ini adalah salah satu pertobatan yang paling mengagumkan
sejak Santo Paulus jatuh dari kudanya dalam perjalanannya ke Damaskus![7]Sungguh, satu pertobatan mendadak semacam
itu harus menimbulkan keraguan serius akan motivasinya. Mungkinkah mereka
demikian putus asa karena kegagalan mereka menemukan “materi-gelap dingin”
sehingga akhirnya mereka memutuskan mengubah pikiran mereka mengenai neutrino?
Kita dapat membayangkan apa yang akan dikatakan Sherlock Holmes pada Dokter
Watson jika ia berada dalam situasi semacam ini!
Sekalipun terdapat
sejumlah besar kemajuan dalam bidang riset partikel, situasinya saat ini
demikian membingungkan. Ratusan partikel baru telah ditemukan, tapi masih belum
ada satu teori umum yang secara memuaskan dapat memberi satu keteraturan,
seperti yang dilakukan Mendeleyev dalam bidang kimia. Pada saat ini, ada sebuah
upaya untuk menyatukan berbagai gaya fundamental alam dengan mengelompokkan
mereka ke dalam empat judul: gravitasi, elektromagnetisme, “weak force” dan
“strong force”, yang masing-masing bekerja dalam level yang berbeda-beda.
Gravitasi bekerja pada skala kosmologis, mengikat
bintang-bintang, planet-planet dan galaksi. Elektromagnetisme mengikat atom
pada molekul, menghantar foton dari matahari dan bintang-bintang dan memicu
simpul-simpul syaraf di otak. Strong forcemengikat
proton dan neutron di dalam inti atom. Weak forceterekspresikan
dalam transmutasi dari atom-atom yang tidak stabil selama peluruhan radioaktif.
Kedua gaya yang disebut terakhir ini hanya bekerja pada jarak yang teramat pendek.
Walau demikian, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa klasifikasi ini sudah
final. Dalam tingkat tertentu, ini adalah klasifikasi yang acak.
Terdapat perbedaan besar antara gaya-gaya ini. Gravitasi
mempengaruhi segala bentuk materi dan energi, sementara strong
force hanya mempengaruhi satu kelas partikel. Namun gravitasi
adalah seratus juta triliuntriliuntriliun kali lebih lemah daripada strong
force. Yang lebih penting, tidak jelas mengapa tidak ada satu gaya yang
merupakan anti dari gravitasi, sementara elektromagnetisme terwujud baik dalam
muatan yang positif maupun negatif. Problem ini, yang penyelesaiannya telah
dicoba oleh Einstein, masih perlu ditemukan jawabannya, dan memiliki makna yang
sangat penting bagi seluruh perbincangan mengenai alam semesta. Tiap gaya
diperhitungkan melalui persamaan yang berbeda-beda, yang masing-masing
melibatkan sekitar duapuluh parameter. Persamaan-persamaan ini ada hasilnya,
tapi tidak seorang pun yang tahu mengapa.
Apa yang disebut GUT
mengajukan ide bahwa materi itu sendiri mungkin adalah sebuah fase saja dalam
evolusi alam semesta. Namun, prediksi yang dibuat oleh GUT bahwa proton
mengalami peluruhan belum terbukti, dengan demikian melumpuhkan setidaknya
versi GUT yang paling sederhana. Dalam upaya untuk membuat masuk akal penemuan
mereka sendiri, beberapa fisikawan telah terjerat dalam teori-teori yang
semakin lama semakin aneh dan menakjubkan, seperti apa yang dikenal sebagai
teori “supersimetri” (SUSY), yang mengklaim bahwa alam semesta ini pada awalnya
memiliki lebih dari empat dimensi. Menurut konsep ini, alam semesta ini boleh
jadi mulai dengan, katakanlah, sepuluh dimensi, sayangnya semua dimensi (selain
empat yang tinggal) itu runtuh selama Big Bang terjadi, dan kini menjadi
terlalu kecil untuk dapat dideteksi.
Nampaknya objek-objek
ini adalah partikel-partikel sub-atomik itu sendiri yang katanya adalah kuanta
materi dan energi yang dikondensasikan murni dari ruang. Demikianlah mereka
tertatih-tatih dari spekulasi metafisik yang satu ke spekulasi yang lain dalam
upaya sia-sia untuk menjelaskan fenomena-fenomena fundamental dari alam
semesta. Supersimetri mempostulatkan bahwa alam semesta pada awalnya berada
pada keadaan mutlak sempurna. Mengutip Stephen Hawking, “alam semestaawal
adalah bersahaja, dan jauh lebih mengagumkan, karena ia jauh lebih bersahaja.”
Beberapa ilmuwan bahkan mencoba membenarkan spekulasi mistis ini berdasarkan
estetika. Simetri mutlak katanya adalah indah. Maka kembalilah kita idealisme
Plato.
Pada kenyataannya,
alam bukanlah sebuah simetri mutlak. Sebaliknya, ia penuh dengan kontradiksi,
ketidakteraturan, bencana dan patahan-patahan mendadak pada kontinuitas.
Kehidupan itu sendiri adalah bukti dari konsep ini. Dalam organisme apapun,
kesetimbangan mutlak berarti kematian. Kontradiksi yang kita amati di sini
sudah berumur setua sejarah pemikiran manusia itu sendiri. Ia adalah
kontradiksi antara abstraksi “sempurna” dari pikiran dengan ketidakteraturan
dan “ketidaksempurnaan” dunia material nyata. Seluruh masalah ini lahir dari
fakta bahwa rumusan abstrak matematika, yang boleh dianggap indah atau jelek,
pastilah tidak mungkin mewakili sepenuhnya dunia alam yang nyata. Anggapan
bahwa matematika dapat mewakili dunia nyata adalah sebuah kesalahan metodologis
tingkat pamungkas, dan pasti membawa kita pada penarikan kesimpulan-kesimpulan
yang sangat keliru.
Masalah Hubble
Sekarang adaperdebatan tajam di antara para pendukung Big Bang
mengenai umur alam semesta. Nyatanya, keseluruhan “model standar” sedang dalam
krisis. Kita disajikan sebuah pemandangan di mana para pemuka ilmu pengetahuan
saling menyerang di depan publik dengan bahasa yang sama sekali tidak gentleman.
Dan semua ini berkenaan dengan apa yang dikenal sebagai konstanta Hubble. Ini
adalah rumus yang mengatur kecepatan benda-benda langit. Konstanta ini sangat
penting bagi mereka yang ingin mengukur umur dan ukuran alam semesta ini.
Kesulitannya adalah: tidak seorang pun yang tahu berapa nilainya!
Edwin Hubble
menyatakan bahwa galaksi-galaksi saling bergerak menjauh dengan kecepatan yang
berbanding lurus dengan jarak mereka dengan kita – semakin jauh jaraknya
semakin cepat ia bergerak. Hal ini dinyatakannya dalam apa yang dikenal sebagai
Hukum Hubble – v (kecepatan) = H x d (jarak). Dalam persamaan ini, H dikenal
sebagai konstanta Hubble. Untuk mengukur nilainya, kita harus mengetahui dua
hal: kecepatan dan jarak dari satu galaksi tertentu. Kecepatan dapat dihitung
dari pergeseran spektrum merah (redshift). Tapi jarak antar galaksi tidak dapat
diukur dengan penggaris apapun. Nyatanya, kita tidak memiliki satu pun alat
yang dapat mengukur dengan akurat jarak yang demikian besar. Inilah akar
masalahnya! Para pakar sama sekali tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai
nilai Konstanta Hubble, seperti yang digambarkan secara sinis dalam program
Channel Four T. V. baru-baru ini:
“Michael Pierce
mengatakan bahwa, tanpa diragukan lagi, nilai Konstanta Hubble adalah 85,
Gustav Tamman mengatakan bahwa nilainya 50, George Jacoby 80, Brian Schmidt 70,
Michael Rowan Robinson 50, dan John Torry 80. Perbedaan antara 50 dan 80
kelihatannya remeh-temeh saja,” tulis Channel Four dalam bookletnya, “tapi
maknanya sangat krusial bagi penentuan umur alam semesta. Jika nilai konstanta
Hubble besar, para astronom mungkin sedang menjalani satu proses untuk menghancurkan
sendiri teori mereka yang paling penting.”
Artinya, semakin
tinggi nilai konstanta Hubble, semakin cepat benda-benda langit itu bergerak,
dan jarak kita dengan Big Bang harus pula semakin pendek. Di tahun-tahun
terakhir, teknik-teknik baru untuk mengukur kecepatan pergerakan galaksi telah
pula diterapkan, yang membawa para astronom untuk mengubah dengan drastis
perhitungan-perhitungan awal mereka. Ini telah menumbuhkan kengerian di
kalangan ilmuwan, karena nilai konstanta Hubble semakin hari semakin naik saja.
Perhitungan paling mutakhir menetapkan bahwa usia alam semesta adalah 8 miliar
tahun saja. Artinya, ada bintang-bintang yang usianya lebih tua dari alam
semesta itu sendiri! Ini adalah kontradiksi yang begitu mencolok – bukan
kontradiksi yang dialektis, tapi yang tidak masuk nalar.
“Well,” komentar Carlos Frank, yang dikutip dalam booklet
Channel Four tadi, “jika ternyata umur bintang-bintang lebih tua dari umur alam
semesta, seperti yang disimpulkan dari pengukuran konstanta Hubble dan
pengukuran densitasalam semesta, maka ada krisis yang besar. Anda hanya
memiliki satu pilihan: Anda harus meninggalkan asumsi dasar yang Anda gunakan
untuk mendasari model alam semesta. Dalam hal ini, Anda harus meninggalkan
sebagian, mungkin semua, asumsi dasar yang mendasari teori Big Bang.”[8]
Tidak ada bukti
empirik sama sekali untuk mendukung teori Big Bang. Kebanyakan karya yang
ditulis untuk mendukungnya mengandung sifat yang murni teoritik, bersandar
sepenuhnya pada rumus-rumus matematika yang abstrak dan esoterik. Kontradiksi
yang segunung antara skema “Big Bang” dengan bukti-bukti yang teramati telah
ditutupi dengan terus membuat asumsi baru untuk mempertahankan, dengan segala
cara, sebuah teori yang telah menjadi sandaran reputasi akademik demikian
banyak orang.
Menurut teori ini,
tidak boleh ada sesuatu pun di alam semesta ini yang lebih tua usianya dari 15
miliar tahun. Tapi telah terdapat bukti yang bertentangan dengan ramalan ini.
Di tahun 1986, Brent Tully dari Universitas Hawaii menemukan sekumpulan galaksi
yang maha besar (“supercluster”) sekitar semiliar tahun cahaya panjangnya, tiga
ratus juta tahun cahaya lebarnya dan seratus juta tahun cahaya tebalnya. Untuk
membentuk objek sebesar itu, diperkirakan dibutuhkan waktu antara delapan puluh
sampai seratus miliar tahun, empat atau lima kali lebih lama dari apa yang
diizinkan oleh para pendukung Big Bang. Sejak penemuan itu, telah terdapat
banyak lagi bukti lain yang cenderung membenarkan pengamatan ini.
The New Scientist (edisi 5
Februari 1994) memuat sebuah laporan mengenai penemuan sebuah kluster galaksi
oleh Charles Steidel dari Massachusetts Institute of Technology dan Donald
Hamilton dari California Institute of Technology di Pasadena; penemuan yang
mengandung implikasi besar terhadap teori Big Bang:
“Penemuan cluster
semacam ini adalah masalah bagi teori materi-gelap dingin, yang menganggap bahwa
sebagian besar massa di alam semesta ini terdiri dari materi yang gelap dan
dingin seperti planet atau lubang hitam. Teori itu memprediksikan bahwa materi
di masa-masa awal alam semesta ini mulai berkumpul “dari bawah ke atas”, jadi
galaksi-galaksi terbentuk dahulu, baru kemudian membentuk cluster.”
Seperti biasa, reaksi
para astronom adalah dengan “memindahkan tiang gawang”, mengubah teori untuk
mengatasi fakta-fakta yang mengganggu. Mauro Giavalisco dari Baltimore Space
Telescope Science Institute “percaya bahwa masih mungkin menjelaskan fakta
bahwa kluster terbentuk lebih dahulu pada red shift 3,4 dengan mengatur kembali
teori materi-gelap dingin. Tapi ia kemudian menambahkan satu peringatan, 'Jika
Anda menemukan sepuluh kluster dengan red shift 3,5 maka teori materi-gelap
dingin akan mati.'“
Kita boleh memastikan
bahwa bukan hanya sepuluh tapi sejumlah besar kluster semacam ini benar-benar
ada dan akan ditemukan kelak. Dan ini, pada gilirannya, hanya akan merupakan
bagian yang teramat kecil dari seluruh materi yang terbentang jauh di luar alam
semesta yang teramati, materi yang terentang tanpa batas. Semua upaya untuk
memberi batasan pada dunia materi pasti akan menemui kegagalan. Materi tidak
berbatas, baik dalam tingkat sub-atomik, juga dalam ruang dan waktu.
Big Crunch dan Superbrain
“Dies irae, dies illa
Solvet saeclum in
favilla.”
(Thomas dari Celano,
Dies Irae)
(“Hari itu, hari
pembalasan,
jadi debu alam
semesta akan dihancurkan.”
- doa pemakaman dari
Gereja abad pertengahan)
Seperti kegagalan
mereka untuk bersepakat mengenai asal-usul alam semesta, demikian pula mereka
gagal bersepakat mengenai bagaimana alam semesta seharusnya berakhir – kecuali
kesepakatan mereka bahwa alam semesta ini akan berakhir dalam kehancuran! Menurut
salah satu aliran pemikiran, alam semesta yang berkembang ini akhirnya akan
dihentikan oleh kekuatan gravitasi, kala mana seluruh alam semesta ini akan
runtuh ke dalam, yang akan berakhir dalam sebuah “Remukan Besar” (Big Crunch),
di mana kita akan berakhir tepat di mana kita mulai, dalam sebuah telur kosmis.
Tidak demikian! ujar penganut Big Bang lainnya. Gravitasi tidak akan cukup kuat
untuk melakukan hal ini. Alam Semesta ini akan berkembang semakin lama semakin
besar, tak terhenti, semakin lama semakin tipis densitasnya, dan akhirnya
mencair menjadi kehampaan yang hitam pekat.
Beberapa dasawarsa lalu, Ted Grant, dengan menggunakan metode
materialisme dialektik, menunjukkan kegamangan baik dari teori Big Bang tentang
asal-usul alam semesta, maupun teori steady state yang
dikemukakan oleh Fred Hoyle dan H. Bundi. Selanjutnya, teori steady
state, yang didasarkan pada penciptaan materi (dari ketiadaan)
secara terus-menerus, telah terbukti keliru. Teori Big Bang menang “secara
otomatis”, karena pilihannya cuma dua, dan masih terus dipertahankan oleh
mayoritas ilmuwan. Dari sudut pandang Materialisme yang Dialektik, pembicaraan
tentang “awal waktu” atau “penciptaan materi” merupakan satu hal yang tidak
masuk nalar. Waktu, ruang dan gerak adalah mode eksistensi dari materi, yang
tidak dapat diciptakan maupun dihancurkan. Alam Semesta ini telah hadir
sepanjang jaman, sebagai materi dan (dalam bentuk lainnya) energi yang
terus-menerus berubah, bergerak, ber-evolusi. Semua upaya untuk menemukan
“awal” atau “akhir” dari alam semesta material ini niscaya akan gagal. Tapi
bagaimana kita akan menjelaskan kemunduran ke pandangan Abad Pertengahan
mengenai takdir alam semesta ini?
Walaupun sia-sia jika
kita mencari hubungan langsung antara proses yang bekerja dalam masyarakat,
politik dan ekonomi, terhadap proses perkembangan sains (hubungannya tidaklah
bersifat otomatis atau langsung, tapi jauh lebih halus), tetap saja sulit bagi
kita untuk menolak kesimpulan bahwa pandangan yang pesimistis dari beberapa
ilmuwan tentang nasib alam semesta ini bukanlah kebetulan belaka, melainkan
memiliki hubungan dengan perasaan umum bahwa sistem masyarakat yang sekarang
telah mencapai jalan buntu. Kiamat sudah dekat. Ini bukan sebuah fenomena yang
baru. Pandangan yang penuh dengan prediksi suram seperti ini hadir juga dalam
masa-masa menjelang runtuhnya Kekaisaran Romawi dan menjelang akhir Abad
Pertengahan. Pada kedua kasus ini, ide bahwa dunia ini sedang menuju akhirnya
ternyata mencerminkan fakta bahwa sistem tertentu dalam masyarakat telah
kelelahan dan hampir punah. Apa yang benar-benar terjadi bukanlah kiamat tapi
keruntuhan masyarakat perbudakan dan feodalisme.
Ambillah kutipan berikut, dari The First Three Minutes,
karya pemenang Hadiah Nobel Steven Winberg:
“Kita manusia hampir-hampir tidak dapat menahan godaan untuk
percaya bahwa kita memiliki sejenis hubungan khusus dengan alam semesta, bahwa
kehidupan manusia bukanlah sekedar produk dari serangkaian kebetulan yang
terjadi sejak tiga menit yang pertama, tapi bahwa keberadaan kita memang
diniatkan sejak awal. Sementara saya menulis ini saya kebetulan berada di
sebuah pesawat 30.000 kaki di atas bumi, terbang di atas Wyoming dalam
perjalanan pulang dari San Francisco melewati Boston. Di bawah, bumi terlihat
sangat lembut dan nyaman – awan selembut kapas di sana-sini, salju yang berubah
kedaduan ditimpa sinar surya yang sedang tenggelam, jalan raya yang membentang
melintas negeri dari satu kota ke kota lain. sangat sulit untuk menyadari bahwa
ini hanyalah bagian yang teramat kecil dari sebuah alam semesta yang teramat
ganas. Lebih sulit lagi untuk menyadari bahwa alam semesta yang sekarang ini
ada telah ber-evolusi dari satu kondisi awal yang sangat tidak kita kenal, dan
di masa depan akan menuju kiamat berupa kebekuan tanpa ujung atau panas yang
tak tertanggungkan. Semakin alam semesta ini terasa dapat dipahami, semakin
tidak bermakna jadinya alam semesta itu.”[9]
Kita telah melihat
bagaimana teori Big Bang membuka pintu bagi agama dan segala macam ide mistis.
Pengaburan batasan antara sains dan agama ini sama dengan kembali ke masa 400
tahun lalu. Ini adalah cerminan dari mood masyarakat hari ini yang irasional.
Mood semacam ini niscaya membawa kita pada kesimpulan-kesimpulan yang
seluruhnya reaksioner. Mari kita angkat satu masalah saja: “Apakah proton
meluruh?” Seperti yang telah kami perlihatkan, ini adalah salah satu prediksi dari
salah satu cabang fisika partikel yang dikenal sebagai GUT. Segala macam
eksperimen canggih telah dilakukan untuk menguji persoalan ini. Semuanya
berakhir dalam kegagalan total. Namun demikian, mereka tetap saja ngotot untuk
mengajukan ide itu.
Di sini kami sajikan
satu contoh literatur yang diterbitkan oleh para penganjur teori Remukan Besar:
“Di saat terakhir,
gravitasi menjadi kekuatan yang mutlak dominan, tanpa ampun meremukkan materi
dan ruang. Lengkung ruang-waktu meningkat semakin cepat. Semakin besar wilayah
ruang yang dipadatkan menjadi volume yang semakin lama semakin kecil. Menurut
teori konvensional, pengerutan ini akan menjadi mahakuat, meremukkan semua
keberadaan materi dan menghapuskan segala benda fisik, termasuk ruang dan waktu
itu sendiri, pada sebuah titik singularitas ruang-waktu.”
Inilah akhir segalanya.
“'Remukan Besar',
sejauh kami pahami, bukanlah sekedar akhir dari materi. Ia adalah akhir dari
segalanya. Karena waktu sendiri berhenti berputar pada titik Remukan Besar,
pertanyaan tentang apa yang terjadi sesudahnya tidak akan memiliki makna sama
sekali, sama tidak bermaknanya dengan pertanyaan tentang apa yang terjadi
sebelum Big Bang. Tidak ada kejadian apapun 'setelah itu' –bahkan tidak ada
waktu untuk kesenggangan, atau ruang untuk kekosongan. Sebuahalam semesta yang
datang dari ketiadaan pada saat Big Bang akan kembali pada ketiadaan pada saat
Remukan Besar, di manamasa hidupnya selama beberapa ziliun tahun yang gemilang
itu akan lenyap bahkan dari ingatan.”
Pertanyaan yang tanpa
sadar kemudian muncul dari rasa humor klasik kita: “Apakah kita perlu khawatir
akan prospek semacam itu?” Paul Davies bertanya, barangkali dia mengharapkan
satu jawaban yang serius! Ia lalu mencoba menghibur kita dengan berspekulasi
tentang berbagai cara di mana umat manusia dapat meloloskan diri dari
kehancuran itu. Dalam sekejap kita telah sampai pada dunia antah-berantah yang
terletak di antara agama dan fiksi ilmiah.
“Kita mungkin
berpikir apakah jika ada satu makhluk super yang menghuni alam semesta yang
sedang runtuh itu, pada saat sekaratnya, akan dapat memiliki pemikiran dan
pengalaman yang jumlahnya tak berhingga, yang dikumpulkan dalam keberadaannya
selama waktu terbatas yang tersedia baginya.”
Jadi, sebelum tiga menit terakhir habis, umat manusia
menanggalkan jasad material kasarnya dan menjadi jiwa murni, yang sanggup
mengatasi kiamat dengan mengubah dirinya menjadi sebuah Superbrain.
“Suatu Superbrain [Otak-Super]
haruslah dapat berpikir dengan sangat cepat dan memindahkan komunikasi dari
arah yang satu ke arah yang lain sejalan dengan semakin cepatnya keruntuhan
yang disebabkan oleh osilasi ke arah yang satu atau ke arah yang lain. Jika
makhluk itu dapat mencapai kecepatan yang cukup, osilasi itu sendiri akan
menyediakan energi yang diperlukan untuk mendorong proses berpikir. Lebih jauh
lagi, dalam satu model matematika yang sederhana, kelihatannya ada satu jumlah
pergetaran yang infinit di dalam waktu finit yang akan berpuncak pada Remukan
Besar. Hal ini menyediakan basis bagi pengolahan informasi yang jumlahnya
infinit, maka, dengan hipotesa, ada waktu subjektif yang infinit bagi
superbeing itu. Maka, dunia mental tidak akan pernah berakhir, sekalipun dunia
fisik telah sampai pada penghentian mendadak pada titik Remukan Besar.”[10]
Kita benar-benar
membutuhkan sebuah Otak-Super sekarang untuk dapat memahami apa maksud semua
ini! Mungkin akan lebih enak kalau kita berpikir bahwa sang penulis
kalimat-kalimat di atas sedang bercanda. Sayangnya, kita telah melihat terlalu
banyak kutipan semacam itu sehingga kita tidak dapat menganggapnya sedang
bercanda. Jika Remukan Besar menandai “akhir dari segalanya”, bagaimana dengan
Otak-Super itu? Hanya seorang idealis saja yang dapat membayangkan adanya otak
tanpa tubuh. Tentu saja, kita di sini berhadapan bukan dengan sebuah otak yang
biasa saja, tapi sebuah otak super. Tapi, walau demikian, kita dapat
mengasumsikan bahwa ia akan menggunakan sejenis urat syaraf dan sistem syaraf
untuk berfungsi; sistem semacam itu tentu saja akan membutuhkan sejenis jasad,
dan sebuah jasad (bahkan sebuah Superbody) membutuhkan sumber energi tertentu,
khususnya karena otak dikenal sangat rakus, dan menyerap sebagian besar dari
kalori total yang dikonsumsi bahkan oleh makhluk fana. Sebuah Otak-Super akan
secara logis memiliki selera makan super! Sedihnya, karena Remukan Besar adalah
akhir dari segalanya, Otak-Super kita yang malang itu niscaya akan berada dalam
keadaan di mana ia akan diharuskan melakukan diet yang ketat sepanjang segala
abad. Kita hanya dapat berharap bahwa, karena ia demikian cerdiknya, ia akan
dapat mencuri kesempatan untuk menimbun makanan sebelum tiga menit terakhir itu
habis. Dengan pemikiran yang menghibur hati ini, kita dapat meninggalkan kawan
kita si Otak-Super itu untuk kembali kepada realitas.
Tidakkah mengejutkan
bahwa, setelah dua ribu tahun kemajuan kebudayaan dan ilmu pengetahuan manusia,
kita menemukan diri kita kembali ke jamanBuku Wahyu? Engels telah
memperingatkan seratus tahun lalu bahwa, dengan meninggalkan filsafat, para
ilmuwan niscaya akan berakhir pada “dunia spiritual”. Sayangnya, ramalan Engels
ini terbukti terlalu akurat.
Satu “Alam Semesta Plasma”?
Model standar tentang alam semesta ini telah membawa kita pada
kebuntuan sains, filsafat dan moral. Teori itu sendiri telah compang-camping.
Tapi ia masih dapat berdiri tegak, sekalipun dengan susah-payah, hanya karena
kita tidak memiliki pilihan lain. Walau demikian, ada sesuatu yang sedang
bergolak di dunia sains. Ide-ide baru sedang mewujud, ide-ide yang bukan hanya
menolak Big Bang, tapi juga berangkat dari ide tentang alam semesta yang tidak
berbatas dan terus-menerus berubah. Masih terlalu dini untuk mengatakan yang
mana dari teori-teori ini yang akan terbukti. Salah satu hipotesis yang sangat
menarik, yang dikenal sebagai “alam semesta plasma”, telah dikemukakan oleh
fisikawan pemenang Hadiah Nobel dari Swedia, Hannes Alfén. Walaupun kami tidak
dapat menjelaskan panjang lebar mengenai teorinya di sini, kami rasa sangat
penting untuk mengemukakan beberapa ide pokok yang dikemukakan Alfén.
Alfén bergerak dari penyelidikan atas plasma di laboratorium ke
telaah tentang bagaimana alam semesta ini ber-evolusi. Plasma terdiri dari
gas-gas yang panas dan konduktif terhadap listrik. Sekarang ini diketahui bahwa
99% dari materi yang ada di alam semesta terdiri dari plasma. Sementara di
dalam gas-gas normal, elektron diikat pada atom dan tidak dapat bergerak dengan
leluasa, dalam plasma, elektron-elektron dilucuti dari atom oleh panas yang
demikian tinggi, memberi mereka kesempatan untuk bergerak bebas. Para kosmolog
plasma menggambarkan sebuah alam semesta yang “direncah oleh medan magnet maha
kuat dan arus listrik maha besar, yang diatur oleh persinggungan kosmis antara
elektromagnetisme dan gravitasi.”[11] Di tahun 1970-an, pesawat ruang
angkasa Pioneer dan Voyager mendeteksi kehadiran arus listrik dan medan magnet
yang terisi dengan benang-benang plasma di sekitar Yupiter, Saturnus dan
Uranus.
Para ilmuwan seperti
Alfén, Anthony Peratt dan lain-lain, telah mengembangkan sebuah model alam
semesta yang dinamik dan tidak statis, dan yang tidak membutuhkan satu awalan.
Fenomena ekspansi Hubble membutuhkan satu penjelasan. Tapi teori Big Bang tidak
harus menjadi penjelasan yang paling tepat untuk itu. Sebuah Big Bang niscaya
akan menghasilkan sebuah ekspansi, tapi sebuah ekspansi tidak harus memerlukan
sebuah Big Bang. Seperti yang diungkapkan Alfén: “Ini seperti mengatakan bahwa
karena semua anjing adalah binatang, maka semua binatang adalah anjing.”
Masalahnya bukan terletak pada ide tentang ledakan, yang pada satu titik
melahirkan ekspansi pada satu bidang alam semesta. Tidak ada yang mustahil
secara intrinsik dalam hal ini. Masalahnya terletak pada ide bahwa semua materi
di alam semesta ini pernah terkonsentrasi pada satu titik tunggal, dan bahwa
alam semesta dan waktu itu sendiri dilahirkan pada satu saat tertentu yang
disebut Big Bang.
Model alternatif yang
diajukan oleh Hannes Alfén dan Oskar Klein menerima bahwa mungkin memang ada
sebuah ledakan, yang disebabkan oleh penggabungan sejumlah besar materi dan
anti-materi pada satu sudut dari alam semesta teramati ini, yang menghasilkan kualitas
raksasa dari elektron dan positron yang energik. Karena terjebak dalam medan
magnet, partikel-partikel ini mendorong plasma untuk saling menjauh selama
ratusan juta tahun. “Ledakan dalam epos ini, sekitar 10-20 miliar tahun lalu,
mendorong plasma yang kemudian terkondensasi menjadi galaksi-galaksi itu
mengembang ke luar – dalam ekspansi Hubble. Tapi ini sama sekali bukan Big Bang
yang menciptakan materi, ruang dan waktu. Ia adalah sekedar ledakan besar
biasa, satu ledakan di satu sudut alam semesta. Alfén adalahorang yang pertama
mengakui bahwa penjelasan ini bukanlah satu-satunya penjelasan yang mungkin.
'Poin pentingnya adalah,' tegasnya, 'bahwa ada alternatif untuk teori Big
Bang.'“
Pada waktu di mana hampir semua ilmuwan percaya bahwa ruang
adalah kehampaan mutlak, Alfén menunjukkan bahwa tidak demikian halnya. Alfén
menunjukkan bahwa seluruh alam semesta ini dipenuhi oleh aliran plasma dan
medan magnet. Alfén melakukan penelitian pelopor dalam bidangbintik matahari (sunspots)
dan medan magnet. Belakangan, Alfén membuktikan di laboratorium bahwa ketika
sebuah aliran listrik mengalir melalui plasma, ia akan mengambil bentuk benang
atau filamen untuk mengalir melalui garis-garis medan magnetik. Berangkat dari
pengamatan ini, ia lalu menyimpulkan bahwa gejala yang sama terjadi pada plasma
di angkasa. Ini adalah properti umum plasma di seluruh alam semesta. Maka, kita
akan menemuialiran-aliran listrik maha besar yang mengalir melalui benang
plasma alamiah, yang merencah seluruh alam semesta ini.
“Dengan membentuk
struktur-strukturfilamen yang teramati pada skala terkecil dan terbesar, materi
dan energi dapat dipadatkan dalam ruang. Tapi jelas bahwa energi dapat pula
dipadatkan dalam waktu –alam semesta ini dipenuhi dengan berbagai pelepasan
energi yang mendadak dan eksplosif. Satu contoh yang akrab dengan Alfén adalah
ledakan matahari, satu pelepasan energi mendadak di permukaan matahari, yang
menghasilkan arus partikel yang menghasilkan badai magnetik di bumi. Model
gejala kosmologinya, yang disebut “generator”, menunjukkan bagaimana energi
dapat dihasilkan secara bertahap, layaknya dalam pembangkit listrik yang
bekerja normal, tapi bukan dalam ledakan-ledakan, seperti dalam ledakan
matahari. Pemahaman terhadap pelepasan energi yang mendadak adalah kunci untuk
pemahaman dinamika kosmos.”
Alfén telah
membuktikan ketepatan dari Hipotesa Nebular Kant-Laplace. Kini, jika
bintang-bintang dan planet-planet dapat dibentuk oleh aksi yang dilakukan oleh
aliran-aliran benang plasma raksasa, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa
tata surya tidak mungkin terbentuk dengan cara yang sama.
“Lagi-lagi, prosesnya
sangat mirip, tapi kali ini jauh lebih besar: benang-benang plasma yang menyapu
satu nebula proto-galaktik, menjepit plasma menjadi material penyusun matahari
dan bintang-bintang lain. Sekali material itu benar-benar terjepit, gravitasi
akan menarik beberapa di antaranya untuk menjadi satu, terutama debu dan
partikel es yang bergerak lebih lambat, yang kemudian akan menjadi benih untuk
tumbuhnya satu inti benda langit. Lebih jauh lagi, gerakan vorteks dari benang
plasma akan menyediakan momentum angular bagi tiap aglomerasi kecil di dalam
inti tersebut, menghasilkan himpunan arus listrik baru yang lebih kecil, yang
membawa benang plasma dan satu siklus kompresi baru yang kemudian menghasilkan
sebuah tata surya. (Di tahun 1989, hipotesis ini telah diterima luas, telah
dibuktikan secara meyakinkan ketika para ilmuwan mengamati bahwa rotasi sumbu
dari semua bintang dalam satu nebula tertentu tersusun sesuai dengan medan magnetik
nebula tersebut – yang jelas menunjukkan pembentukan bintang yang dikendalikan
oleh medan magnetik.)”
Walau demikian, teori
Alfén masih terus ditolak oleh para kosmologis, karena ia tidak hanya menentang
model standar, tapi juga mempertanyakan keberadaan lubang hitam, yang masih
terus diributkan itu. Ia telah dengan tepat menjelaskan sinar-sinar kosmis,
bukan sebagai fosil dari Big Bang, tapi sebagai produk dari percepatan
elektromagnetik.
“Maka, dalam skenario Alfén dan Klein, hanya sebagian kecil alam
semesta– yaitu yang dapat kita lihat – yang akan runtuh dan kemudian meledak.
Bukannya datang dari sebuah titik singularitas, ledakan itu datang dari sebuah
wilayah besar yang lebarnya ratusan juta tahun cahaya dan memerlukan ratusan
juta tahun untuk berkembang – kita tidak lagi perlu 'asal-usul alam semesta'.”[12]
Apakah teori ini
kelak akan terbukti tepat, hanya waktu yang dapat menyatakannya. Hal yang
penting adalah, seperti yang dikatakan Alfén sendiri, bahwa hipotesis
alternatif terhadap Big Bang adalah satu hal yang mungkin. Apapun yang terjadi,
kami yakin bahwa model alam semesta yang akhirnya akan dikonfirmasi oleh sains
tidak akan ada kemiripannya dengan model alam semesta tertutup yang dimulai
oleh Big Bang dan diakhiri oleh Remukan Besar. Penemuan teleskop di tahun 1609
adalah titik balik yang menentukan dalam sejarah astronomi. Sejak itu,
cakrawala alam semesta ini telah didorong semakin hari semakin jauh. Kini,
teleskop radio yang kuat telah menjelajah semakin jauh ke angkasa. Sepanjang
waktu objek-objek baru terus ditemukan, semakin besar dan semakin jauh, tanpa
kemungkinan batas akhir. Walau demikian, obsesi manusia akan keterbatasan telah
menghasilkan desakan yang kuat untuk menempatkan satu “batasan terakhir” pada
segala sesuatu. Kita melihat fenomena ini terulang berkali-kali dalam sejarah
astronomi.
Adalah satu hal yang
ironis, di kala teknologi memungkinkan kita untuk menembus semakin dalam
angkasa ini, kita menyaksikan satu kemunduran psikologis ke dunia Abad
Pertengahan di mana alam semesta ini dianggap terbatas luasnya, yang dimulai
dengan Penciptaan dan berakhir dalam kehancuran ruang, waktu dan materi. Sebuah
garis tak terseberangi telah ditarik pada titik ini,di mana umat manusia tidak
diperkenankan melintasinya, karena “kita tidak dapat memahami” apa yang ada di
luar sana. Ini sama dengan peta dunia yang dulu digambar di Abad Pertengahan,
ketika bumi masih dianggap datar,di manapinggiran akhir bumi ditandai dengan
peringatan keras, “Di sini tinggal monster-monster!”
Einstein dan Big Bang
Dalam beberapa
dasawarsa terakhir, sebuah prasangka telah tertanam dalam-dalam, prasangka yang
menyatakan bahwa ilmu-ilmu “murni”, terutama fisika, adalah hasil dari
pemikiran abstrak dan kesimpulan matematika belaka. Seperti yang diungkapkan
oleh Eric Lerner, Einstein turut pula bertanggung jawab untuk kecenderungan
ini. Tidak seperti teori-teori terdahulu, seperti hukum elektromagnetisme
Maxwell atau hukum gravitasi Newton, yang sepenuhnya berdasarkan eksperimen,
dan yang segera terkonfirmasi oleh ratusan ribu pengamatan yang terpisah,
teori-teori Einstein pada awalnya hanya dibenarkan oleh dua pengamatan –
pembelokan cahaya bintang oleh medan gravitasi matahari dan penyimpangan kecil
dalam orbit Merkurius.
Fakta bahwa teori
relativitas kemudian dibuktikan ketepatannya telah mendorong orang lain, yang
mungkin tidak dapat menandingi tingkat kejeniusan Einstein, untuk menganggap
bahwa cara Einstein adalah cara yang benar. Mengapa perlu repot-repot
mengadakan eksperimen yang makan waktu dan mengadakan pengamatan yang
membosankan? Sungguh, mengapa pula perlu bergantung pada kesaksian dari indera
kita, sementara kita dapat langsung mencari kebenaran melalui metode deduksi
murni?
Semakin hari kita
semakin melihat kecenderungan ke pendekatan teoritik yang murni abstrak
terhadap kosmologi, yang bersandar hampir sepenuhnya pada perhitungan matematika
dan teori relativitas. “Jumlah artikel-artikel kosmologi yang diterbitkan tiap
tahun melejit dari lima puluh di tahun 1965 menjadi lebih dari 500 di tahun
1980, walau pertumbuhan ini semata adalah pertumbuhan dari karya-karya
teoritik: sampai tahun 1980, kira-kira 95 persen dari artikel ini didedikasikan
untuk berbagai model matematika, seperti 'alam semesta Bianchi type XI'. Sampai
1970-an, keyakinan para kosmolog demikian tingginya sehingga mereka merasa
sanggup menggambarkan dengan terperinci apa yang terjadi pada masa seperseratus
detik pertama usia alam semesta ini, beberapa miliar tahun yang lalu. Teori
semakin mengambil watak mitos – pengetahuan yang mutlak dan pasti tentang
kejadian-kejadian di masa yang telah lama silam, tapi dengan pemahaman yang
semakin kabur tentang bagaimana kejadian-kejadian itu dapat menentukan bentuk
alam semesta yang kita kenal saat ini, dan semakin teguhnya orang menolak
hasil-hasil pengamatan.”
Titik lemah dari alam
semesta Einstein yang statis dan tertutup itu adalah bahwa ia niscaya akan
runtuh ke dalam dirinya sendiri karena kekuatan gravitasi. Untuk mengatasi
masalah ini, ia mengajukan satu hipotesis tentang “konstanta kosmologi”, satu
kekuatan penolak yang akan melawan kekuatan gravitasi, dengan demikian mencegah
alam semesta runtuh ke dalam. Selama beberapa waktu ide tentang alam semesta
yang statis, yang terentang selamanya dalam ekuilibrium, oleh kekuatan kembar
gravitasi dan “konstanta kosmologi” mendapatkan dukungan – setidaknya dari
segelintir ilmuwan yang mengklaim bahwa mereka memahami teori Einstein yang
sangat abstrak dan rumit itu.
Di tahun 1970, dalam sebuah artikel di jurnalScience,
Gerard de Vaucouleur menunjukkan bahwa, sejalan dengan semakin besarnya
benda-benda di alam semesta, densitas mereka semakin kecil. Sebuah objek yang
sepuluh kali lebih besar, misalnya, densitas akan turun 100 kali lipat. Ini
adalah satu hal yang memiliki akibat serius pada upaya-upaya untuk menetapkan
densitas rata-rata alam semesta, hal yang perlu untuk menetapkan apakah memang
ada cukup gravitasi untuk menghentikan Ekspansi Hubble. Jika densitas rata-rata
jatuh berbanding lurus peningkatan ukuran, mustahillah menetapkan densitas
rata-rata alam semesta secara keseluruhan. Jika De Vaucouleur benar,
densitasalam semesta akan jauh lebih kecil daripada perhitungan selama ini, dan
nilai omega dapat menjadi 0,0002. Dalam sebuah alam semesta yang memiliki
materi demikian sedikitnya, efek gravitasi akan menjadi demikian lemah sehingga
perbedaan antara relativitas umum dan gravitasi Newton akan menjadi demikian
tidak penting, dan dengan demikian, “untuk semua keperluan praktis, relativitas
umum, landasan bagi semua kosmologi konvensional, dapat diabaikan!” Lerner
melanjutkan: “Penemuan Vaucouleur menunjukkan bahwa tidak ada tempat di alam
semesta ini – kecuali mungkin di dekat beberapa bintang neutron yang
ultra-padat – di mana relativitas umum dapat menjadi lebih dari sekedar koreksi
kecil.”[13]
Sangat sulit untuk
memahami“apa yang sesungguhnya dimaksudkan”oleh Einstein. Ada sebuah cerita:
ketika beberapa jurnalis bertanya pada ilmuwan Inggris, Eddington, orang kedua
setelah Einstein yang dianggap paham tentang relativitas, apakah memang benar
bahwa hanya tiga orang di dunia ini yang memahami relativitas, ia menjawab,
“Oh, benarkah? Dan siapa orang ketiga itu?” Namun demikian, ahli matematika
Rusia Alexander Friedmann di awal 1920-an menunjukkan bahwa model alam semesta
Einstein hanyalah salah satu dari sekian banyak, mungkin tak berhingga, model
kosmologis yang dimungkinkan oleh teorinya, beberapa mengerut, yang lain
mengembang, tergantung dari nilai konstanta kosmologis, dan “kondisi awal”alam
semesta itu. Ini adalah hasil yang murni matematika, yang diturunkan dari
persamaan Einstein. Makna penting dari karya Friedmann adalah bahwa ia
mempertanyakan ide tentang alam semesta yang statis dan tertutup, dan
menunjukkan bahwa model-model lainnya juga dimungkinkan.
Bintang Neutron
Bertentangan dengan
ide jaman Kuno bahwa bintang-bintang bersifat abadi dan tidak dapat berubah,
astronomi modern telah menunjukkan bahwa bintang-bintang dan benda-benda langit
lain memiliki sejarah, kelahiran, kehidupan dan kematian – berukuran raksasa,
dengan kepadatan rendah dan berwarna merah di masa muda; biru, panas dan
gemilang di usia pertengahan; mengerut, kepadatan tinggi dan kembali berwarna
merah di masa tuanya. Sejumlah besar informasi telah dikumpulkan dari
pengamatan-pengamatan astronomi yang menggunakan teleskop yang luar biasa kuat.
Di Harvard saja, seperempat juta bintang telah disusun dalam empat puluh kelas
sebelum Perang Dunia II melalui karya Annie J. Cannon. Kini jauh lebih banyak
lagi yang telah diketahui sebagai hasil dari penggunaan teleskop radio dan
penjelajahan antariksa.
Astronom Inggris,
Fred Hoyle, telah melakukan penyelidikan yang rinci tentang kehidupan dan
kematian bintang-bintang. Bintang-bintang dihidupi oleh proses fusi hidrogen
menjadi helium di intinya. Sebuah bintang pada tahap awalnya hanya berubah
sedikit saja dalam ukuran maupun suhunya. Inilah matahari kita yang sekarang.
Namun, cepat atau lambat, hidrogen yang dikonsumsi di inti bintang ini berubah
menjadi helium. Helium ini terakumulasi di dalam inti sampai ketika ia mencapai
ukuran tertentu, kuantitas lantas berubah menjadi kualitas. Sebuah perubahan
yang dramatis terjadi, yang menyebabkan perubahan mendadak dalam ukuran dan
suhu. Bintang itu akan mengembang ke ukuran raksasa, sementara permukaannya
kehilangan panas. Ia menjadi bintang raksasa merah (red giant).
Menurut teori ini, inti helium berkontraksi, meningkatkan suhu
pada titik di mana inti helium akan berfusi untuk membentuk karbon, sambil
melepaskan energi baru. Sementara terus bertambah panas, kontraksi ini
berlangsung lebih jauh. Pada tahap ini, masa hidup bintang semakin pendek,
karena energi yang dihasilkan oleh fusi helium jauh lebih kecil daripada yang
dihasilkan oleh fusi hidrogen. Pada titik tertentu, energi yang dibutuhkan
untuk menjaga ekspansi bintang dari tarikan gaya gravitasinya sendiri mulai
tidak tercukupi lagi. Bintang itu akan berkontraksi dengan cepat, runtuh ke
dalam dirinya sendiri dan menjadi bintang kerdil putih (white
dwarf), yang dilingkupi oleh lingkaran awan gas, sisa dari lapisan
luar yang dihembus keluar oleh panasnya kontraksi. Ini adalah basis dari nebula
planeter. Bintang-bintang dapat tinggal dalam keadaan ini dalam waktu yang
sangat lama, mendingin perlahan-lahan, sampai ia tidak lagi memiliki panas yang
cukup untuk bersinar. Mereka akhirnya mati dan menjadi bintang kerdil hitam (black
dwarf).
Akan tetapi, proses
ini akan terlihat begitu damai dan tenang kalau dibandingkan dengan skenario
yang dijabarkan Hoyle untuk bintang-bintang yang lebih besar. Ketika sebuah
bintang besar mencapai tahap akhir perkembangannya, di mana suhu internalnya
mencapai 3-4 juta derajat, besi mulai terbentuk pada intinya. Pada tahap
tertentu, suhunya mencapai sebuah titik di mana atom-atom besi dipecah menjadi
helium. Pada titik ini, bintang itu runtuh ke dalam dirinya sendiri dalam waktu
sekitar satu detik. Keruntuhan yang demikian dahsyat akan menimbulkan ledakan
yang sangat dahsyat, yang melemparkan semua lapisan luarnya jauh-jauh dari inti
bintang itu. Ledakan ini dikenal sebagai supernova, seperti yang mengejutkan
para astronom Cina pada abad ke-11.
Pertanyaan yang
kemudian timbul adalah apa yang akan terjadi jika sebuah bintang besar terus
runtuh ke dalam karena tekanan dari gravitasinya sendiri. Gaya gravitasi yang
tak terkira besarnya akan memeras elektron ke dalam ruang yang telah ditempati
oleh proton. Menurut hukum mekanika kuantum yang dikenal sebagai Prinsip
Pengecualian Pauli, tidak ada dua elektron yang boleh menempati posisi energi
yang sama dalam sebuah atom. Prinsip ini, yang bekerja dalam neutron, mencegah
keruntuhan lebih lanjut. Pada tahap ini, bintang itu kini akan terdiri dari
neutron, inilah asal-usul namanya. Bintang semacam itu memiliki radius yang
amat kecil, mungkin hanya 10 kilometer, atau sekitar 1/700 dari radius bintang
kerdil putih, dan dengan densitas lebih dari 100 juta kali lipat daripadanya,
padahal kerapatan bintang kerdil putih sudah demikian tinggi. Satu kotak korek
api yang diisi dengan material dari bintang neutron akan memiliki bobot seberat
sebuah asteroid yang berdiameter satu mil.
Dengan konsentrasi
massa yang demikian tinggi, tarikan gravitasi dari sebuah bintang neutron akan
menyerap segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Keberadaan bintang semacam ini
telah diprediksikan secara teoritik oleh fisikawan Soviet, Lev Landau, dan
kemudian ditelaah secara rinci oleh J. R. Oppenheimer dan kawan-kawan. Pada
waktu itu diragukan apakah bintang semacam itu memang benar-benar ada. Namun,
di tahun 1967, penemuan pulsar di dalam sisa-sisa supernova seperti Crab Nebula
memunculkan teori bahwa pulsar sesungguhnya adalah bintang neutron. Tidak ada
sesuatu pun di dalamnya yang tidak bersesuaian dengan prinsip-prinsip
materialisme.
Pulsar adalah sebuah bintang yang berdenyut, yang memberikanledakanenergi
yang cepat dengan interval yang reguler. Diperkirakan bahwa mungkin terdapat
100.000 pulsar di galaksi kita sendiri saja, ratusan di antaranya telah
ditemukan. Sumber dari gelombang radio maha kuat ini diperkirakan datang dari
bintang-bintang neutron. Menurut teori, ia semestinya memiliki medan magnetik
maha dahsyat. Dalam cengkeraman medan gravitasi dari sebuah bintang neutron,
elektron hanya akan dapat muncul dari kutub-kutub magnetnya, melepaskan
energinya dalam bentuk gelombang radio dalam proses ini. Letupan-letupan
singkat gelombang radio ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa bintang neutron
harus berotasi. Di tahun 1969, ditemukan bahwa sebuah cahaya dari bintang pudar
di Crab Nebula ternyata berkedip dengan teratur sejalan dengan denyutan
gelombang mikronya. Ini adalah penampakan pertama sebuah bintang neutron. Lalu,
di tahun 1982, sebuah pulsar yang bergerak cepat telah ditemukan, dengan
denyutan 20 kali lebih cepat daripada apa yang ada di Crab Nebula – 642 kali
per detik.Di tahun 1960-an, objek-objek baru telah ditemukan dengan teleskop
radio: kuasar. Di akhir dekade 1960, ada 150 yang ditemukan – beberapa di
antaranya diperkirakan sembilan juta tahun cahaya dari bumi, jika
perhitungan redshift-nya benar. Supaya dapat terlihat dari jarak
yang demikian jauh, bintang itu haruslah 30 sampai 100 kali lebih cemerlang
dari sebuah galaksi yang normal. Namun mereka tetap nampak kecil. Hal ini
benar-benar menimbulkan kesulitan, sehingga beberapa astronom menolak menerima
bahwa mereka benar-benar berada sejauh itu dari bumi.
Penemuan kuasar
memberi satu dorongan baru bagi teori Big Bang. Keberadaan bintang yang runtuh
dengan medan gravitasi sekuat itu menghadirkan masalah yang tidak dapat
dipecahkan melalui pengamatan langsung. Fakta ini membuka gerbang bagi banjir
spekulasi, termasuk beberapa interpretasi paling aneh dari teori relativitas
umum Einstein. Seperti yang ditunjukkan Eric Lerner:
“Glamor dari kuasar yang misterius dengan cepat menarik
perhatian para peneliti muda kekalkulasi-kalkulasi yang rumit dari relativitas
umum dan juga pada masalah-masalah kosmologi, terutama yang bersifat
matematika. Setelah 1964 jumlah artikel yang diterbitkan dalam bidang kosmologi
melompat jauh, tapi pertumbuhannya kebanyakan datang dari karya-karya teoritik
– perhitungan matematika akan beberapa masalah dalam relativitas umum, yang
sama sekali tidak mencoba menyesuaikan perhitungan mereka dengan hasil dari
pengamatan. Di tahun 1964 saja, mungkin empat dari lima artikel tentang
kosmologi bersifat teoritik, pada dekade sebelumnya hanya satu dari tiga.”[14]
Kita harus membedakan lubang hitam (black hole), yang
keberadaannya datang dari interpretasi tertentu atas teori relativitas umum,
dan bintang neutron, yang keberadaannya telah benar-benar diamati. Ide tentang
lubang hitam telah menangkap imajinasi jutaan orang berkat tulisan Stephen
Hawking. Namun keberadaan lubang hitam ini masih belum diterima secara umum,
juga belum dibuktikan secara benar-benar meyakinkan.
Roger Penrose, dalam
satu esai yang didasarkan pada kuliah di Radio BBC tahun 1973, menggambarkan
teori lubang hitam sebagai berikut:
“Apa itu lubang hitam? Untuk keperluan astronomi, ia berperilaku
seperti sebuah “benda” yang kecil berwarna hitam dengan tingkat densitas amat
tinggi. Tapi ia bukan sebuah benda material dalam makna yang biasa. Ia tidak
memiliki permukaan. Sebuah lubang hitam adalah wilayah ruang kosong (sekalipun
yang terpuntir secara aneh) yang berlaku sebagai sebuah pusat tarikan
gravitasi. Sebelumnya sebuah benda material pernah ada di sana. Tapi benda itu
runtuh ke dalam di bawah tarikan gravitasinya sendiri. Semakin benda itu
terpusat ke intinya, semakin kuat medan gravitasinya dan semakin kurang
kemampuan benda itu untuk mencegah keruntuhannya lebih jauh. Pada satu tahap,
ia melewati titik baliknya. Dan benda itu akan mencapai batasan
“horizon-peristiwa mutlak” [absolute event horizon]-nya.
“Saya akan bicara lebih lanjut tentang hal ini nanti, tapi bagi
keperluan kita yang sekarang, horizon-peristiwa mutlak inilah yang bertindak
sebagai permukaan yang membatasi lubang hitam ini. Permukaan ini tidaklah
material. Ia hanyalah satu garis demarkasi yang ditarik di ruang angkasa untuk
memisahkan wilayah dalam dan luar. Wilayah dalam – tempat di mana benda itu
telah runtuh – didefinisikan dengan fakta bahwa tidak ada materi, cahaya atau
sinyal apapun yang dapat meloloskan diri daripadanya, sementara wilayah luar
adalah di mana masih dimungkinkan lolosnya sinyal atau partikel materi ke dunia
luar. Materi yang telah runtuh ke dalam lubang hitam telah jatuh demikian dalam
sehingga mencapai densitas yang luar biasa, sehingga bahkan nampaknya
dihancurkan keberadaannya setelah ia mencapai apa yang dikenal sebagai
'singularitas ruang-waktu' – satu tempat di mana hukum-hukum fisika, seperti
yang dipahami kini, harus berhenti bekerja.”[15]
Stephen Hawking
tahun 1970, Stephen Hawking mengajukan ide bahwa energi yang
mengisi sebuah lubang hitam kadangkala akan menciptakan sepasang partikel
sub-atomik, yang salah satunya akan dapat meloloskan diri. Hal ini berarti
bahwa sebuah lubang hitam dapat menguap, sekalipun ini akan membutuhkan waktu
yang demikian lama sehingga tak akan terbayangkan. Pada akhirnya, menurut teori
ini, ia akan meledak dan menghasilkan sejumlah besar sinar gamma. Teori Hawking
telah menarik perhatian banyak orang. Buku best seller-nya, A
Brief History of Time, From Big Bang to Black Holes, yang ditulis
dengan apik itu, mungkin adalah buku yang paling menarik perhatian banyak orang
akan teori-teori baru kosmologi. Gaya penulisannya yang gemilang membuat
ide-ide yang rumit terlihat sederhana dan menarik. Ia adalah sebuah buku yang
sangat menarik untuk dibaca, tapi demikian pula halnya dengan semua buku fiksi
ilmiah. Sayangnya, kelihatannya telah menjadi kebiasaan bagi para penulis buku
populer tentang kosmologi untuk membuat karyanya kedengaran semistis mungkin,
dan mengajukan teori-teori yang paling tidak masuk nalar, mendasarkan diri pada
sebanyak mungkin spekulasi dan sesedikit mungkin fakta. Model-model matematika
telah hampir sepenuhnya menggantikanpengamatan. Filsafat sentral dari aliran
pemikiran ini disimpulkan oleh slogan Stephen Hawking “kita tidak dapat
benar-benar beradu argumen dengan teorema matematika.”
Hawking mengklaim
bahwa dia dan Roger Penrose telah membuktikan (secara matematika) bahwa teori
relativitas umum “mengimplikasikan bahwa alam semesta ini harus memiliki satu
awal dan, mungkin, satu akhir.” Dasar bagi semua ini adalah bahwa teori
relativitas umum dianggap mutlak benar. Namun, paradoksnya, pada titik Big
Bang, teori relativitas tiba-tiba menjadi tidak relevan. Ia berhenti bekerja,
seperti halnya semua hukum fisika lain juga berhenti bekerja, sehingga tidak
ada sesuatu pun yang dapat kita katakan tentangnya. Tidak ada, kecuali
spekulasi metafisik dari jenis yang paling buruk. Tapi kita akan kembali pada
hal ini di belakang.
Menurut teori ini, waktu
dan ruang tidak ada sebelum Big Bang, ketika semua materi di alam semesta ini
katanya terpusat pada sebuah titik tunggal yang tidak berhingga kecilnya, yang
dikenal oleh para ahli matematika sebagai singularitas. Hawking sendiri
menunjukkan dimensi-dimensi yang terlibat dalam transaksi kosmologis yang
mengesankan ini:
“Kita kini tahu bahwa galaksi kita hanyalah salah satu dari
beberapa ratus ribu juta yang dapat dilihat menggunakan teleskop modern, tiap
galaksi itu sendiri mengandung beberapa ratus ribu juta bintang.... Kita hidup
dalam sebuah galaksi yang besarnya dari ujung ke ujung sekitar seratus ribu
tahun cahaya dan berputar perlahan; bintang-bintang di lengan spiralnya
mengorbit mengelilingi pusatnya sekitar sekali setiap beberapa ratus juta tahun.
Bintang kita hanyalah bintang kuning biasa, yang berukuran sedang-sedang saja,
dekat bagian dalam dari salah satu lengan spiralnya. Kita sungguh telah
melangkah jauh sekali dari jaman Aristoteles dan Ptolomeus, ketika kita mengira
bahwa bumi adalah pusat alam semesta!”[16]
Nyatanya, kuantitas
materi yang demikian besar seperti yang disebutkan di atas sama sekali tidak
memberi gambaran tentang jumlah materi di alam semesta. Galaksi-galaksi dan
supercluster baru terus ditemukan sepanjang waktu, dan tidak ada akhir bagi
proses ini. Kita telah berjalan jauh sekali dari jaman Aristoteles dalam beberapa
aspek. Tapi, dalam aspek-aspek lainnya, kelihatannya kita justru mundur jauh
sekali daripadanya. Aristoteles tidak mungkin membuat kesalahan dengan
berbicara tentang masa sebelum waktu diciptakan, atau mengklaim bahwa seluruh
alam semesta, nyatanya, diciptakan dari ketiadaan. Untuk menemukan gagasan
seperti ini, kita harus mundur beberapa ribu tahun ke dunia Mitos Penciptaan
Yahudi-Babilonia.
Setiap kali seseorang
mencoba memprotes arak-arakan ini, ia segera akan dihadapkan dengan sang
mahaguru Albert Einstein, sebagaimana seorang murid nakal dipanggil ke kantor
kepala sekolah, dan diberi pelajaran keras mengenai perlunya menunjukkan rasa
hormat pada teori relativitas umum, diberi tahu bahwa dia tak boleh beradu
argumen dengan teorema matematika, dan dipulangkan dengan tidak hormat.
Perbedaan utamanya adalah bahwa kebanyakan kepala sekolah masih hidup dan
Einstein sudah mati, dan dengan demikian tidak dapat memberi komentar terhadap
interpretasi semacam itu atas teorinya. Nyatanya, sia-sialah kita mencoba
mencari dalam tulisan Einstein satu pun rujukan tentang Big Bang, lubang hitam,
dan lain-lain sejenisnya. Einstein sendiri, sekalipun ia awalnya cenderung
berfilsafat idealisme, secara tegas menentang mistisisme dalam sains. Ia
menghabiskan dasawarsa terakhir hidupnya berjuang melawan pandangan-pandangan
idealis subjektif dari Heisenberg dan Bohr dan, nyatanya, bergerak mendekat ke
posisi materialis. Ia tentu akan ngeri melihat kesimpulan-kesimpulan mistik
yang ditarik dari teorinya. Yang berikut ini adalah contoh yang baik:
“Semua solusi
Friedmann memiliki fitur bahwa pada satu waktu di masa lalu (sekitar 10 sampai
20miliar tahun yang lalu) jarak antar galaksi haruslah nol. Pada saat itu, yang
kita kenal sebagai Big Bang, densitasalam semesta dan lengkung ruang-waktu
pastilah besar tak berhingga atau infinit. Karena matematika tidak dapat
menangani angka-angka infinit, ini berarti bahwa teori relativitas umum (di
mana solusi-solusi Friedmann didasarkan) meramalkan bahwa ada satu titik dalam
alam semesta di mana teori itu sendiri runtuh. Titik semacam itu adalah apa
yang disebut para ahli matematika sebagai singularitas. Nyatanya, semua teori
kita tentang ilmu pengetahuan dirumuskan berdasarkan asumsi bahwa ruang-waktu
adalah halus dan hampir-hampir datar, jadi mereka juga runtuh pada singularitas
Big Bang, ketika lengkung ruang-waktu besar tak berhingga. Hal ini berarti
bahwa sekalipun ada peristiwa yang terjadi sebelum Big Bang, kita tidak dapat
menggunakannya untuk menentukan apa yang akan terjadi setelahnya, karena
kemampuan prediksi kita akan runtuh pada saat Big Bang. Sejalan dengan itu,
jika, seperti halnya demikian, kita hanya mengetahui apa yang telah terjadi
setelah Big Bang, kita tidak akan dapat mengetahui apa yang terjadi sebelumnya.
Sejauh menyangkut diri kita sendiri, kejadian-kejadian sebelum Big Bang tidak
dapat memiliki konsekuensi apapun, sehingga mereka harus dibuang dari model
kita dan kita dapat menyatakan bahwa waktu dimulai pada saat Big Bang.”
Kutipan seperti di
atas sangat mengingatkan kita pada aksi akrobat intelektual dari Kaum
Terpelajar Abad Pertengahan, yang berdebat mengenai berapa jumlah malaikat yang
dapat berdansa di atas pentul sebuah jarum. Kita tidak bermaksud menghina. Jika
kesahihan sebuah argumen hanya ditentukan oleh konsistensi internalnya, maka
argumen Kaum Terpelajar Abad Pertengahan adalah sama sahihnya dengan argumen di
atas. Mereka bukanlah orang-orang tolol, melainkan ahli-ahli logika dan
matematika yang terampil, yang mendirikan konstruksi logika mereka dengan kerumitan
dan kesempurnaan setara dengan yang mereka tunjukkan ketika membangun
katedral-katedral. Yang perlu kita lakukan tinggal menerima premis-premis
mereka, dan segalanya akan jatuh tepat di tempat yang seharusnya. Persoalannya
terletak pada kesahihan dari premis awal mereka. Ini adalah masalah umum dengan
semua matematika, dan kelemahan utamanya. Dan seluruh teori ini bersandar
sepenuhnya pada matematika.
“Pada waktu yang kita
sebut Big Bang...” Tapi jika tidak ada waktu, bagaimana mungkin kita menyebutnya
sebagai “pada waktu itu”? Katanya waktu justru dimulai pada titik itu. Jadi,
apa yang ada di sana sebelum adanya waktu? Pada waktu di mana tidak ada waktu!
Jelaslah bahwa argumen itu mengkontradiksi dirinya sendiri. Waktu dan ruang
adalah cara mengada materi. Jika tidak ada waktu, maupun ruang, maupun materi,
apa yang ada di sana? Energi? Tapi energi, seperti penjelasan Einstein, juga
hanyalah satu perwujudan materi. Sebuah medan-gaya? Tapi medan-gaya adalah juga
energi, jadi kesulitan itu tetap ada di sana. Satu-satunya cara untuk
menghilangkan waktu, adalah jika sebelum Big Bang– tidak ada segala sesuatu
pun.
Masalahnya adalah: bagaimana menciptakan sesuatu dari ketiadaan?
Jika kita berpikir religius, tidak ada masalah di sini; Tuhan menciptakan alam
semesta dari ketiadaan. Inilah doktrin dari Gereja Katolik, doktrin tentang
Penciptaan ex nihilo. Hawking merasa tidak nyaman dengan fakta
ini, seperti yang dikemukakan olehnya pada baris-baris berikut:
“Banyak orang tidak
menyukai ide bahwa waktu memiliki satu awal, boleh jadi karena hal itu berbau
campur tangan ilahi. (Gereja Katolik, di pihak lain, telah menerima model Big
Bang dan di tahun 1951 dengan resmi mengumumkannya sebagai sesuai dengan
Injil.)”
Hawking sendiri tidak
ingin menerima kesimpulan ini. Tapi ini tak terelakkan. Seluruh kerumitan ini
muncul dari konsepsi filsafat yang tidak tepat tentang waktu. Einstein harus
turut bertanggung jawab akan hal ini, karena ia nampaknya memasukkan unsur
subjektif dengan mengaburkan pengukuran waktu dengan waktu itu sendiri. Di sini
lagi-lagi kita melihat bagaimana reaksi terhadap fisika mekanik Newton telah
dibawa sampai satu titik ekstrem. Persoalannya bukanlah apakah waktu itu
“relatif” atau “mutlak”. Persoalan sentral yang harus dibahas adalah apakah
waktu itu subjektif atau objektif; apakah waktu merupakan mode eksistensi dari
materi atau hanya sekedar sebuah konsep yang sepenuhnya subjektif dan hanya
hadir dalam pikiran dan ditentukan oleh pengamatnya. Hawking jelas menerima
pandangan subjektif tentang waktu, ketika ia menulis:
“Hukum gerak Newton telah mengakhiri ide tentang posisi absolut
dalam ruang. Teori relativitas menyingkirkan keabsolutan waktu. Bayangkan
sepasang anak kembar. Jika salah satu dari mereka tinggal di puncak gunung
sementara yang lain tinggal di tepi pantai. Yang pertama akan menua lebih cepat
dari yang pertama, perbedaan umurnya akan sangat kecil, tapi perbedaan itu akan
menjadi jauh lebih besar jika salah satu dari mereka bepergian jauh dalam
sebuah pesawat angkasa dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Ketika ia
kembali, ia akan menjadi jauh lebih muda daripada yang satunya, yang tinggal di
bumi. Ini dikenal sebagai paradoks kembar, tapi ia hanya akan menjadi paradoks
ketika seseorang memiliki ide tentang waktu absolut di pikirannya. Dalam teori
relativitas tidak ada pengukuran yang unik dan mutlak atas waktu yang
tergantung pada di mana sang pengamat berada dan berapa cepat ia bergerak.”[17]
Bahwa terdapat unsur
subjektif dalam pengukuran waktu, itu tidak dapat diperdebatkan lagi. Kita
mengukur waktu menurut satu kerangka rujukan tertentu, yang dapat, dan pasti,
berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Waktu di London berbeda dengan
waktu di Sydney atau New York. Tapi ini tidak berarti bahwa waktu adalah
sepenuhnya subjektif. Proses objektif di alam semesta berlangsung dan tidak
tergantung dari apakah kita dapat mengukurnya atau tidak. Waktu, ruang, dan
gerak adalah objektif bagi materi, tidak memiliki awal maupun akhir.
Inilah catatan
menarik dari Engels mengenai hal itu:
“Mari kita lanjutkan.
Jadi waktu memiliki awal. Apa yang terjadi sebelum awal ini? Alam semesta, yang
waktu itu berada dalam keadaan yang tetap dan tidak berubah. Dan karena tidak
ada perubahan susul-menyusul dalam keadaan ini, ide yang khusus tentang waktu
mengubah dirinya menjadi ide umum tentang keberadaan. Pertama-tama, kita sama
sekali tidak berminat dengan konsep perubahan di kepala Herr Dühring. Persoalan
yang sedang dibahas bukanlah konsepsi tentang waktu, tapi waktu riil, yang
tidak mungkin dapat disingkirkan begitu saja oleh Herr Dühring. Kedua,
bagaimanapun konsepsi waktu dapat diubah menjadi ide tentang keberadaan yang
umum, ini sama sekali tidak membawa kita melangkah setapakpun. Satu bentuk
dasar dari segala keberadaan adalah ruang dan waktu, dan konsep 'ada di luar
waktu' adalah sama absurdnya dengan konsep 'ada di luar ruang'.
“'Keberadaan pada waktu yang teramat lampau' dari Hegel atau
'keberadaan yang tidak diciptakan' dari kaum neo-Schellingian adalah ide-ide
yang rasional dibandingkan dengan konsep 'di luar waktu' ini. Untuk alasan ini,
Herr Dühring telah bekerja keras dengan sangat teliti; tentu saja ini adalah
waktu, tapi dari jenis tertentu yang tidak dapat kita sebut waktu; waktu itu
sendiri tidaklah terdiri dari bagian-bagian yang riil, dan hanya terbagi-bagi
seturut pemahaman kita tentangnya – hanya satu pengisian aktual atas waktu oleh
fakta-fakta yang dapat dibedakan satu sama lain yang dapat kita hitung – apa
makna dari akumulasi durasi kosong sama sekali tidak dapat kita bayangkan. Apa
yang seharusnya dimaksudkan oleh akumulasi semacam ini tidaklah material di
sini; persoalannya adalah apakah dunia, dalam keadaannya yang sekarang,
memiliki durasi, melewati satu durasi waktu tertentu. Kita telah lama tahu
bahwa kita tidak akan mendapatkan apa-apa dengan mengukur durasi yang tidak ada
isinya, seperti halnya kita tidak akan mendapatkan apa-apa dengan mengukur
tanpa arah atau tujuan dalam kekosongan ruang; dan Hegel menyebut
ketakberhinggaan atau infiniti ini sebagai sesuatu yang buruk karena
pengulangan yang membosankan dari prosedur ini.”[18]
Apakah Singularitas Benar-benar Ada?
Sebuah lubang hitam
tidaklah sama dengan sebuah singularitas. Tidak ada sesuatu yang secara prinsipil
mengecualikan kemungkinan adanya lubang hitam, dalam makna sebuah bintang
ultra-masif yang telah runtuh di mana gaya gravitasi demikian kuatnya sehingga
bahkan cahayapun tidak dapat lolos dari permukaannya. Bahkan ide ini bukanlah
sebuah ide yang baru. Ia telah diramalkan di abad ke-18 oleh John Mitchell yang
menunjukkan bahwa sebuah bintang yang cukup masif akan dapat menjebak cahaya.
Ia sampai pada kesimpulan ini berdasarkan teori gravitasi klasik Newton.
Relativitas umum sama sekali tidak masuk dalam perhitungannya.
Namun, teori yang
diajukan oleh Hawking dan Penrose melangkah jauh keluar dari fakta-fakta yang
teramati, dan, seperti yang telah kita lihat, menarik kesimpulan-kesimpulan
yang mengundang segala macam mistisisme, bahkan kalaupun hal ini bukanlah apa
yang mereka inginkan. Eric Lerner menganggap argumen adanya lubang hitam
super-masif di pusat galaksi sebagai argumen yang lemah. Bersama Anthony
Peratt, ia telah menunjukkan bagaimana semua fitur yang berhubungan dengan
lubang hitam super-masif, kuasar, dsb., dapat dijelaskan dengan lebih memuaskan
oleh fenomena elektromagnetik. Walau demikian, ia percaya bahwa bahwa
bukti-bukti yang ada lebih kuat menunjuk pada keberadaan lubang hitam seukuran
bintang karena ia bersandar pada pendeteksian sumber-sumber sinar-X yang sangat
kuat, yang terlalu besar bagi bintang neutron. Bahkan di sinipun pengamatan
masih jauh dari pembuktian.
Abstraksi matematika
adalah alat yang berguna untuk memahami alam semesta, dengan satu syarat: bahwa
kita tidak melupakan bahwa model matematika yang terbaik sekalipun hanyalah
satu pendekatan kasar atas realitas. Masalahnya dimulai ketika orang mulai
mengaburkan mana yang model, mana yang asli. Hawking sendiri tanpa sadar
mengungkapkan kelemahan metode ini dalam kutipan-kutipan di atas. Ia menganggap
bahwa densitasalam semesta pada titik Big Bang adalah infinit, tanpa memberi
alasan untuk hal ini, dan kemudian menambahkan satu argumen yang sangat aneh,
bahwa “karena matematika tidak dapat menangani angka infinit” maka teori
relativitas runtuh pada titik ini. Pada argumen ini, perlulah ditambahkan, “dan
semua teori fisika yang kita ketahui,” karena bukan hanya teori relativitas
umum yang runtuh pada saat Big Bang, tapi semua ilmu pengetahuan. Bukan hanya
kita tidak tahu apa yang terjadi sebelum ledakan ini terjadi. Tapi kita tidak
mungkin tahu.
Ini berarti kembali pada teori Kant tentang Thing-in-Itself(sesuatu
dalam dirinya sendiri) yang tidak mungkin diketahui itu. Di masa lalu, peran
untuk menempatkan batasan bagi pemahaman manusia dimainkan oleh agama dan
beberapa filsuf idealis seperti Hume dan Kant. Sains hanya diperbolehkan
melangkah dalam batasan tertentu, dan tidak boleh lebih dari itu. Pada titik di
mana pemahaman manusia tidak diperbolehkan menjelajah lebih jauh, mistisisme,
agama dan irasionalitas mulai berlaku. Namun seluruh sejarah sains adalah kisah
bagaimana rintangan-rintangan ini dirobohkan susul-menyusul. Apa yang dianggap
tidak mungkin diketahui bagi satu generasi menjadi hal yang merupakan
pengetahuan sehari-hari bagi generasi berikutnya. Seluruh sains didasarkan pada
paham bahwa alam semesta ini dapat dipahami. Kini, untuk pertama kalinya, para
ilmuwan turut menempatkan batasan bagi sains, sebuahsituasi yang luar biasa dan
komentar yang menyedihkan atas situasi yang sekarang berlaku pada bidang
kosmologi dan fisika teoritik.
Pertimbangkanlah
implikasi dari kutipan di atas: a) karena hukum-hukum sains, termasuk
relativitas umum (yang dianggap menyediakan landasan bagi seluruh teori) runtuh
pada saat Big Bang, mustahil bagi kita untuk mengetahui apa, jika ada, yang
terjadi sebelumnya, b) bahkan jika memang ada kejadian sebelum Big Bang, mereka
tidak memiliki hubungan dengan apa yang terjadi sesudahnya; c) mustahil kita
memahami apapun tentangnya dan, dengan demikian; d) kita seharusnya
“membuangnya dari model itu dan mengatakan bahwa waktu dimulai pada saat Big
Bang.”
Sungguh luar biasa
bagaimana pernyataan-pernyataan ini diajukan dengan begitu penuh keyakinan
diri.Kita diminta untuk menerima sebuah batas mutlak dari kemampuan kita untuk
memahami masalah paling mendasar dari kosmologi, bahkan, untuk tidak
mempermasalahkannya (karena segala pertanyaan tentang waktu sebelum adanya
waktu tidaklah memiliki makna apapun) dan bahwa kita seharusnya menerima saja
tanpa banyak ribut bahwa waktu dimulai pada saat Big Bang.Dengan cara ini,
Hawking mengasumsikan begitu saja apa yang seharusnya dibuktikan. Begitu juga
para teolog menyatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta, dan ketika ditanya
siapa yang menciptakan Tuhan, menjawab begitu saja bahwa jawabannya tidak akan
pernah dapat dipahami oleh makhluk fana manapun. Dengan satu hal kami dapat
bersepakat, bahwa seluruh hal ini “sangat berbau campur tangan ilahi”. Lebih
dari itu, “campur tangan ilahi” adalah apa yang diimplikasikan oleh semua ini.
Dalam polemiknya melawan Dühring, Engels menunjukkan bahwa
mustahillah gerak datang dari diam, bahwa sesuatu dapat lahir dari ketiadaan.
“Tanpa Penciptaan, mustahil kita mendapatkan sesuatu dari ketiadaan, bahkan
jika sesuatu itu sesederhana diferensial matematika.”[19] Pembelaan prinsipil Hawking adalah
bahwa teori alternatif terhadap Big Bang, yang diajukan oleh Fred Hoyle, Thomas
Gould dan Hermann Bondi – apa yang disebut teori Steady State – telah terbukti
keliru. Dari sudut pandang materialisme dialektik, tidak ada yang bisa dipilih
dari keduanya. Yang satu sama buruknya dengan yang lain. Sesungguhnya, teori
Steady State, yang menyatakan bahwa materi diciptakan terus menerus di luar
angkasa dari ketiadaan, adalah, jika memang dimungkinkan, bersifat jauh lebih
mistis daripada teori saingannya. Kenyataan bahwa ide semacam itu dapat
diterima secara serius oleh para ilmuwan adalah sendirinya sebuah pertanda yang
sangat buruk tentang kebingungan filsafati yang telah meracuni sainsbegitu
lama.
Orang-orang jaman
dulu telah memahami bahwa “dari ketiadaan akan muncul ketiadaan”. Fakta ini
ternyatakan dalam salah satu hukum fisika yang paling mendasar, hukum kekekalan
energi. Klaim Hoyle bahwa hanya kecil sekali jumlah yang terlibat dalam
penciptaan baru itu bukan satu hal yang dapat diterima. Ini seperti seorang
gadis muda yang naif, yang berusaha menenangkan ayahnya yang kalut karena ia
telah mengandung seorang bayi dengan mengatakan bahwa bayi itu “cuma kecil
saja”. Tidak sedikit pun partikel materi (atau energi, yang merupakan
kesetaraannya) dapat diciptakan atau dihancurkan, dan dengan demikian, sejak
awalnya, teori Steady State sudah ditakdirkan gagal.
Teori “singularitas”
Penrosepada awalnya sebenarnya tidak memiliki kaitan apapun dengan asal-usul
alam semesta. Ia hanya meramalkan bahwa sebuah bintang yang runtuh karena
gravitasinya sendiri akan terjebak dalam sebuah wilayah di mana permukaannya
akhirnya akan mengerut sampai ukuran nol. Namun, di tahun 1970, ia dan Hawking
menghasilkan sebuah artikel bersama di mana mereka mengklaim bahwa Big Bang itu
sendiri adalah sebuah “singularitas”, asalkan “teori relativitas umum benar dan
alam semesta mengandung materi sebanyak yang kita amati.”
“Terdapat banyak
oposisi terhadap karya kami, sebagian dari orang-orang Rusia karena kepercayaan
Marxis mereka tentang determinisme ilmiah, dan sebagian dari orang-orang yang
merasa bahwa seluruh ide tentang singularitas sangat buruk dan merusak
keindahan teori Einstein. Walau demikian,sungguh kita tidak dapat beradu
argumen dengan teorema matematika. Jadi, akhirnya karya kami diterima secara
umum dan kini hampir setiap orang mengasumsikan bahwa alam semesta dimulai
dengan sebuah singularitas Big Bang.”
Relativitas umum
telah terbukti sebagai alat yang sangat berguna, tapi setiap teori memiliki
keterbatasannya sendiri, dan kita mendapat kesan bahwa teori itu sudahdidorong
sampai batas kemampuannya. Berapa lama lagi sebelum ia digantikan oleh
teori-teori yang lebih luas dan lebih komprehensif, kita tidak tahu, tapi jelas
bahwa penerapan ini telah membawa kita pada jalan buntu. Sejauh menyangkut
jumlah materi di alam semesta, jumlah totalnya tidak akan pernah diketahui
karena memang tidak ada batasannya. Mereka terlalu terbelit dalam
persamaan-persamaan matematika sehingga mereka melupakan realitas. Dalam
praktek, persamaan matematika telah dipaksa menggantikan realitas.
Setelah berhasil
meyakinkan banyak orang, berdasarkan bahwa “sungguh kita tidak dapat beradu
argumen dengan teorema matematika”, Hawking kemudian malah menjadi ragu:
“Mungkin ironis,” katanya, “bahwa, setelah saya meralat pikiran saya, saya
sekarang berusaha meyakinkan fisikawan lain bahwa tidak mungkin ada satu
singularitas pada awal alam semesta– seperti yang akan kita lihat berikutnya,
ia dapat menghilang kalau kita memperhitungkan efek kuantum.” Sifat sembarang
dari seluruh metode yang digunakan di sini terlihat dalam perubahan luar biasa
dalam pemikiran Hawking. Kini ia menyatakan bahwa tidak ada singularitas dalam
Big Bang. Mengapa? Apa yang telah berubah? Tidak ada bukti lain yang dapat
ditambahkan. Semua puntiran dan putaran ini terjadi dalam dunia abstraksi
matematika belaka.
Teori Hawking tentang
lubang hitam merupakan perluasan dari ide tentang singularitas pada bagian alam
semesta tertentu. Teori ini sangat penuh dengan unsur-unsur yang kontradiktif
dan mistis. Ambillah kutipan berikut, yang menggambarkan sebuah skenario luar
biasa di manaseorang astronot terjatuh ke dalam lubang hitam:
“Karya saya dan Roger Penrose sekitar 1965 dan 1970 menunjukkan
bahwa, menurut relativitas umum, bahwa harus ada satu singularitas yang terdiri
dari densitas dan lengkung ruang-waktu yang infinit di dalam lubang hitam. Ini
agak mirip dengan Big Bang pada awal waktu, hanya saja sekarang ia akan menjadi
akhir waktu bagi benda yang jatuh ke dalamnya, demikian juga bagi si astronot.
Pada titik singularitas, hukum-hukum sains dan kemampuan kita untuk memprediksi
masa depan akan runtuh. Namun, pengamat manapun yang tinggal di luar lubang
hitam tidak akan terpengaruh oleh kegagalan kemampuan prediksi ini, karena
tidak ada cahaya maupun sinyal lainnya yang dapat mencapainya dari titik
singularitas. Fakta yang mengagumkan ini membawa Roger Penrose untuk
mengusulkan sebuah hipotesis sensor kosmik, yang dapat dinyatakan sebagai
'Tuhan membenci singularitas yang telanjang'. Dengan kata lain, singularitas
yang dihasilkan oleh keruntuhan gravitasi terjadi hanya di tempat-tempat,
seperti dalam lubang hitam, di mana mereka tersembunyi rapat dari pandangan
orang luar melalui horizon-peristiwa. Tegasnya, ini adalah apa yang dikenal
sebagai hipotesis sensor kosmik lemah: ia melindungi pengamat yang tinggal di
luar lubang hitam dari konsekuensi keruntuhan kemampuan prediksi yang terjadi
pada titik singularitas. Tapi ia tidak melakukan apa-apa untuk menyelamatkan
sang astronot sial malang yang terjatuh ke dalam lubang itu.”[20]
Apa yang dapat kita
tarik dari uraian itu? Tidak puas dengan awal (dan akhir) waktu untuk seluruh
alam semesta, Penrose dan Hawking kini menemukan bahwa di berbagai tempat di
alam semesta ini waktu telah berhenti! Sekalipun bukti-bukti tentang keberadaan
lubang hitam masih sangat kabur, kelihatannya sangat mungkin bahwa fenomena
semacam itu memang ada, dalam bentuk bintang-bintang yang runtuh ke dalam
dengan konsentrasi materi dan gravitasi yang maha dahsyat. Tapi sangat
diragukan bahwa keruntuhan gravitasi ini akan dapat mencapai titik
singularitas, apalagi jika ia berada dalam keadaan itu selama-lamanya. Jauh
sebelum keadaan ini tercapai, konsentrasi materi dan energi yang demikian
dahsyat haruslah menghasilkan satu ledakan yang maha masif.
Seluruh alam semesta
adalah bukti bahwa proses perubahan tidaklah pernah berhenti, pada tiap
tingkatannya. Bagian-bagian yang besar dari alam semesta ini mungkin
mengembang, sementara yang lain mengerut. Masa-masa panjang kesetimbangan akan
dirusak oleh ledakan-ledakan yang dahsyat, seperti supernova, yang pada
gilirannya akan menyediakan bahan mentah untuk pembentukan galaksi-galaksi
baru, yang terus berlangsung sepanjang waktu. Tidak ada pelenyapan atau
penciptaan materi, tapi hanya perubahannya yang terus-menerus dan tanpa henti
dari satu keadaan ke keadaan lainnya. Maka tidak mungkin ada sesuatu yang dapat
disebut “akhir waktu” di dalam lubang hitam, atau di manapun juga.
Sebuah Abstraksi Kosong
Seluruh paham mistis
ini diturunkan dari interpretasi subjektivis atas waktu, yang membuatnya
tergantung (atau relatif) pada seorang pengamat. Tapi waktu adalah fenomena
yang objektif, yang tidak tergantung dari pengamat manapun. Kebutuhan untuk
memasukkan si astronot malang itu ke dalam teori tidaklah muncul dari kebutuhan
ilmiah, tapi sebagai hasil dari sudut pandang filsafati tertentu, yang
diseludupkan di bawah panji-panji “teori relativitas”. Anda lihat, supaya waktu
dapat menjadi “riil”, ia membutuhkan seorang pengamat, yang kemudian dapat
menginterpretasikannya dari sudut pandangnya sendiri. Asumsinya, jika tidak ada
seorang pun pengamat, tidak ada waktu! Dalam argumentasi yang teramat aneh,
pengamat ini dilindungi dari pengaruh buruk lubang hitam oleh sebuah hipotetis
yang diambil sembarangan, sebuah “sensor kosmik lemah”, apapun artinya itu.
Walau demikian, di dalam lubang itu, waktu tidak ada. Jadi, di luarnya, waktu
ada, tapi sejengkal di muka, waktu tidak ada. Sebagai batas antara dua keadaan
ini, kita mendapati horizon-peristiwa yang misterius itu, yang wataknya tidak jelas.
Setidaknya, kelihatannya kita harus mencampakkan semua harapan
untuk kelak memahami apa yang terjadi di dalamhorizon-peristiwa, karena,
mengutip Hawking, ia “dengan rapi disembunyikan dari pandangan kita.” Di sini,
kita dapati Thing-in-Itself-nya Kant abad ke-20. Dan,
seperti Thing-in-Itself, ternyata ia sebenarnya tidak terlalu
sulit untuk dimengerti. Apa yang kita dapati di sini adalahsebuah pandangan
idealis dan mistik atas waktu dan ruang, yang dijejalkan ke dalam model
matematika, dan disalahpahami sebagai sesuatu yang nyata ada.
Waktu dan ruang
adalah dua properti materi yang paling mendasar. Lebih tepatnya, mereka adalah
mode eksistensi dari materi. Kant telah menunjukkan bahwa, jika kita
menanggalkan seluruh properti fisik materi, kita akan mendapati waktu dan
ruang. Tapi ini, nyatanya, adalah sebuah abstraksi kosong. Waktu dan ruang
tidak dapat hadir tanpa properti-properti fisik materi. Orang telah melontarkan
tuduhan kepada Marx, tanpa bukti sedikit pun, bahwa ia memandang Sejarah
sebagai berjalan tanpa peran-serta sadar dari manusia di dalamnya, semata
sebagai hasil dari Kekuatan Ekonomi, atau hal-hal tidak masuk nalar lainnya.
Nyatanya, Marx menyatakan dengan jelas bahwa Sejarah tidak dapat berbuat
apa-apa, dan manusia menulis sendiri sejarahnya, sekalipun mereka tidak
melakukan hal itu sepenuhnya atas “kehendak bebas” mereka.
Hawking, Penrose dan
banyak lagi yang lainnya bersalah karena kesalahan yang dituduhkan kepada Marx.
Sebagai ganti abstraksi kosong atas Sejarah, yang pada kenyataannya sangat
mewujud dan memiliki kehidupan dan kehendaknya sendiri, kita di sini mendapati
sebuah abstraksi Waktu yang sama kosongnya, yang dilihat sebagai entitas yang
independen, yang mengalami kelahiran dan kematian, dan yang umumnya melahirkan
segala macam sulapan, bersama dengan kawan karibnya, sang Ruang, yang bangkit
dan runtuh dan melengkung, layaknya seorang pemabuk kosmik, dan akhirnya
menelan seorang astronot malang ke dalam lubang hitam.
Hal seperti ini akan
sangat bagus untuk sebuah cerita fiksi ilmiah, tapi tidak terlalu berguna
sebagai alat untuk memahami alam semesta. Jelas, terdapat berbagai kesulitan
praktis dalam mendapatkan informasi yang akurat mengenai, katakanlah,
bintang-bintang neutron. Dalam makna tertentu, dalam hubungannya dengan alam semesta,
kita mendapati diri kita di posisi yang sama sepertinenek moyang manusia ketika
mereka berhadapan dengan fenomena-fenomena alam. Karena kurangnya informasi,
kita mencari penjelasan yang rasional atas hal-hal yang sulit dan kabur itu.
Kita akhirnya terlempar kembali pada sumberdaya kita sendiri –yakni pikiran dan
imajinasi. Segala hal akan terasa misterius ketika mereka tidak dipahami. Untuk
dapat memahami, kita perlu membuat hipotesis. Beberapa di antaranya akan
terbukti keliru. Ini sendiri bukanlah masalah. Seluruh sejarah ilmu pengetahuan
dipenuhi dengan contoh-contoh di mana upaya pembuktian sebuah hipotesis yang
keliru ternyata membawa orang kepada penemuan-penemuan penting.
Walau demikian, kita
memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa hipotesis-hipotesis itu memiliki sifat
yang cukup rasional. Di sini telaah filsafat menjadi hal yang wajib. Apakah
kita memang harus kembali pada mitos-mitos primitif dan agama untuk memahami
alam semesta? Apakah kita perlu menghidupkan kembali paham idealisme yang telah
terbukti keliru itu, yang, pada kenyataannya, sangat dekat dengan segala macam
mitos dan agama? Apakah memang perlu untuk mengulang kesalahan yang lalu?
“Sungguh kita tidak dapat beradu argumen dengan teorema matematika.” Mungkin
tidak. Tapi tentunya kita dapat beradu argumen dengan premis-premis filsafat
yang keliru, dan interpretasi idealis tentang waktu, yang membawa kita pada
kesimpulan seperti berikut:
“Ada beberapa solusiuntuk persamaan relativitas umum di mana
dimungkinkan bagi astronot kita untuk melihat singularitas secara telanjang: ia
mungkin dapat menghindaritumbukan dengan singularitas dan justru jatuh ke dalam
sebuah 'wormhole' (lubang cacing) dan muncul di bagian lain alam semesta ini.
Ini akan membuka kemungkinan besar untuk perjalanan melintasi ruang dan waktu,
tapi sayang kelihatannya solusi ini sangat tidak stabil; gangguan sekecil
apapun, seperti kehadiran astronot itu sendiri, dapat mengubahnya sehingga
astronot itu gagal melihat singularitas itu sampai ia menabraknya dan waktu berakhir
baginya. Dengan kata lain, singularitas akan selalu terletak di masa depannya,
bukan di masa silamnya. Versi kuat dari sensor kosmik menyatakan bahwa dalam
sebuah solusi yang realistik, singularitas akan selalu terletak selamanya di
masa depan (seperti singularitas dari keruntuhan gravitasi) atau selamanya di
masa lalu (seperti Big Bang). Kami sangat mengharapkan bahwa beberapa hipotesis
sensor kosmik benar karena dekat sebuah singularitas yang telanjang terletak
kemungkinan untuk bepergian ke masa lalu. Sementara ini bagus untuk para
penulis fiksi ilmiah, ini juga berarti bahwa tidak ada seorang pun yang aman:
seseorang mungkin akan pergi ke masa lalu dan membunuh ayah atau ibu Anda
sebelum Anda dilahirkan!”[21]
“Perjalanan-waktu”ditemukan
di halaman-halaman buku fiksi ilmiah, di mana ia dapat menjadi sumber hiburan
yang tidak berbahaya. Tapi kami yakin bahwa tidak ada orang yang perlu takut
kalau keberadaan mereka mungkin akan terancam karena beberapa pelancong-waktu
yang ceroboh membunuh nenek mereka. Jujur saja, kita cuma perlu bertanya untuk
membuat orang menyadari absurditas pernyataan di atas. Waktu hanya berjalan
searah, dan tidak dapat diputar balik. Apapun yang kawan kita si astronot itu
temukan di dasar lubang hitam, ia tidak akan menemukan bahwa waktu telah
diputar balik, atau “diam tak bergerak” (kecuali dalam artian bahwa, karena ia akan
segera dirobek-robek oleh gaya gravitasi, waktu akan berhenti baginya,
bersamaan dengan seluruh kehidupannya).
Kita telah berkomentar tentang kecenderungan mencampuradukkan
sains dengan fiksi-ilmiah. Juga dapat dilihat bahwa banyak fiksi ilmiah dipenuhi
dengan pandangan semi-religius, mistik dan idealis. Jauh-jauh hari, Engels
telah menunjukkan bahwa para ilmuwan yang mengabaikan filsafat akan sering kali
menjadi korban dari segala macam mistisisme. Ia menulis sebuah artikel tentang
hal itu, yang diberinya judul Natural Science and the Spirit
World, dari mana kutipan berikut diambil:
“Mazhab ini merajalela di Inggris. Pendirinya, sang Francis
Bacon yang ternama, telah menyatakan bahwa metode barunya yang empirik dan
induktif harus dipelajari untuk, terutama, mencapai: usia yang lebih panjang,
peremajaan – sampai tahap tertentu, perubahan tinggi dan postur tubuh,
transformasi dari satu tubuh ke tubuh yang lain, penciptaan spesies baru, kuasa
atas udara dan kemampuan menciptakan badai. Ia mengeluh bahwa penyelidikan
semacam itu telah ditinggalkan, dan dalam bukunya tentang sejarah alam, ia
memberi resep-resep pasti untuk membuat emas dan mewujudkan berbagai mukjizat.
Isaac Newton juga dalam usia tuanya menyibukkan diri dengan upaya menjelaskan
Kitab Wahyu. Jadi tidak perlu diherankan jika di tahun-tahun terakhir empirisme
Inggris, lewat beberapa perwakilannya – bukan yang terburuk dari mereka – telah
menjadi korban tak berdaya dari upacara-upacara pemanggilan arwah yang diimpor
dari Amerika.”[22]
Tidak diragukan lagi
bahwa Stephen Hawking dan Roger Penrose adalah ilmuwan dan ahli matematika yang
cemerlang. Masalahnya adalah bahwa, jika Anda mulai dengan premis yang salah,
niscaya Anda akan menarik kesimpulan yang salah pula. Hawking jelas merasa
tidak nyaman dengan ide bahwa kesimpulan-kesimpulan yang religius dapat ditarik
dari teorinya. Ia bercerita, di tahun 1981, ketika ia menghadiri sebuah
konferensi tentang kosmologi di Vatikan, yang diorganisir oleh para Jesuit, dan
berkomentar:
“Gereja Katolik telah membuat sebuah kesalahan besar terhadap
Galileo ketika mereka berusaha menetapkan hukum tentang masalah sains, dan
menyatakan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi. Kini, berabad-abad
kemudian, mereka telah memutuskan untuk mengundang sejumlah ilmuwan untuk
memberi mereka nasihat mengenai kosmologi. Pada akhir konferensi para peserta
diundang untuk bertemu Paus. Ia menyatakan bahwa kita boleh mempelajari evolusi
alam semesta setelah Big Bang, tapi kita tidak boleh mencoba menelaah Big Bang
itu sendiri karena itulah saat Penciptaan dan, maka dari itu, adalah karya
Tuhan. Saya merasa lega saat itu karena ia tidak mengetahui perihal yang saya
bicarakan pada saat konferensi – kemungkinan bahwa ruang-waktu adalah finit,
tapi tidak memiliki garis batas, yang berarti bahwa ruang-waktu tidak memiliki
satu awal, tidak memiliki satu saat Penciptaan. Saya tidak ingin turut
mengalami nasib seperti Galileo, orang yang saya rasa sangat dekat dengan saya,
sebagian karena kebetulan saya dilahirkan tepat 300 tahun setelah kematiannya!”[23]
Jelas, Hawking ingin
menarik garis pembatas antara dirinya dengan para penganut Penciptaan atau
Kreasionis. Tapi upaya itu tidaklah terlalu berhasil. Bagaimana mungkin alam
semesta ini dapat memiliki ukuran yang finit, sementara tidak memiliki garis
batas? Dalam matematika, dimungkinkan untuk mendapat serangkaian bilangan yang
jumlahnya infinit, yang dimulai dari satu. Tapi pada kenyataannya, ide tentang
infiniti tidaklah dimulai dengan satu, atau angka yang lain. Infiniti bukanlah
konsep matematika. Ia tidak dapat dihitung. “Infiniti” yang sepihak ini adalah
apa yang disebut Hegel sebagai infiniti yang buruk. Engels menangani masalah
ini dalam polemiknya dengan Dühring:
“Tapi bagaimana dengan kontradiksi 'deret bilangan infinit yang
terhitung'? Kita akan berada dalam posisi yang baik untuk memeriksa hal ini
lebih dekat segera setelah Herr Dühring membuktikan kecerdasannya dengan
melakukan penghitungan itu bagi kita. Ketika ia telah menyelesaikan tugas
menghitung dari minus infiniti sampai nol, mari kita undang dia untuk
melakukannya lagi. Sangat jelas bahwa, dari manapun ia mulai menghitung, ia
akan mendapati sebuah deret yang infinit dan, bersamanya, satu tugas yang harus
dipenuhinya. Mari biarkan dia membalikkan deret angka infinit ini dari 1+2+3+4
... dan mencoba menghitung dari infinit sampai satu; hal ini tentunya hanya
akan dicoba oleh orang yang tidak memiliki bayangan sedikit pun tentang apa
yang dihadapinya. Lebih jauh lagi, ketika Herr Dühring menyatakan bahwa deret
infinit dari waktu yang telah lewat telah dihitung, maka ia menyatakan bahwa
waktu memiliki satu awal; kalau tidak demikian, ia tidak dapat mulai
'menghitung' sama sekali. Maka, sekali lagi ia menyelundupkan sebuah premis ke
dalam argumen itu, sebuah premis yang seharusnya ia buktikan terlebih dahulu.
Ide tentang serangkaian angka infinit yang telah dihitung, dengan kata lain,
Hukum Dühring tentang Bilangan Tertentu (Law of Determinate Number)
yang amat komprehensif itu, oleh karenanya adalah sebuahcontradiction
in adjecto, atau mengandung kontradiksi di dalam dirinya sendiri,
dan sungguh sebuah kontradiksi yang absurd.
“Jelaslah bahwa sebuah infiniti yang memiliki sebuah akhir tanpa
sebuah awal bukanlah infiniti seperti halnya infiniti dengan sebuah awal tapi
tanpa akhir. Pemahaman yang sedikit-dikitnya tentang dialektika seharusnya
sudah membuat Herr Dühring paham bahwa awal dan akhir adalah dua hal yang sama,
seperti Kutub Utara dan Kutub Selatan, dan bahwa jika ujung akhir dihilangkan,
yang awal akan menjadi yang akhir – satu-satunya akhir yang dimiliki oleh deret
itu; dan sebaliknya. Seluruh penipuan ini akan nampak mustahil kecuali untuk
penggunaan matematika ketika bekerja dengan deret angkainfinit. Karena dalam
matematika sangat perlu untuk mulai dari titik tertentu, yang finit, untuk
sampai kepada infiniti, semua deret matematika, positif atau negatif, harus
mulai dengan bilangan 1, atau deret itu tidak dapat digunakan untuk
perhitungan. Tapi kebutuhan logis dari para ahli matematika ini sama sekali
bukan hukum wajib bagi dunia nyata.”[24]
Stephen Hawking membawa spekulasi relativistik inike titik
ekstrem dengan karyanya tentang lubang hitam, yang membawa kita ke dunia fiksi
ilmiah. Dalam upaya untuk mengatasi pertanyaan yang tidak menyenangkan tentang
apa yang terjadi sebelum Big Bang, diajukanlah ide tentang “alam semesta-alam
semesta bayi”, yang lahir sepanjang waktu, dan dihubungkan oleh
apa-yang-disebut“lubang-cacing”. Seperti komentar ironis yang dilontarkan
Lerner: “Itu adalah sebuah visi yang kelihatannya membutuhkan sejenis
kontrasepsi kosmik.”[25] Sangat mengherankan bahwa banyak
ilmuwan yang waras menganggap ide yang ajaib ini sebagai sebuah ide yang baik.
Ide tentang sebuah
“alam semesta yang berhingga tapi tanpa garis batas” lagi-lagi adalah sebuah
hasil dari abstraksi matematika, yang tidak ada hubungannya dengan realitas
dari alam semesta yang kekal dan infinit, yang terus-menerus berubah. Sekali
kita mengambil sudut pandang ini, tidak perlu ada spekulasi-spekulasi mistik
tentang “lubang-cacing”, singularitas, superstring, dan segala yang lainnya.
Sebuahalam semesta yang infinit tidak memaksa kita untuk mencari sebuah awal
atau sebuah akhir, kita hanya perlu menelusuri proses pergerakan, perubahan dan
perkembangan. Pandangan dialektik tidak menyisakan ruang untuk Surga atau
Neraka, Tuhan atau Setan, Penciptaan atau Penghakiman Terakhir. Ini tidak
berlaku bagi Hawking yang, tidak mengherankan, akhirnya mencoba untuk “memahami
jalan pikiran Tuhan”.
Kaum reaksioner
bertepuk tangan melihat tontonan ini, dan menggunakan kecenderungan mistis yang
sedang merajalela di dunia ilmiah ini untuk kepentingan mereka sendiri. William
Rees-Mogg, konsultan bisnis besar itu, menulis:
“Kami berpikir bahwa kemungkinan besar gerakan-gerakan keagamaan
yang kini kitasaksikan bekerja di banyak masyarakat di seluruh dunia akan
menjadi semakin kuat jika kita mengalami masa-masa sulit dalam perekonomian.
Agama akan diperkuat karena laju sains saat ini tidak lagi menggerogoti pandangan
agama tentang realitas. Sungguh, untuk pertama kalinya selama berabad-abad,
ilmu sains justru memperkuatnya.”[26]
Pikiran di dalam Kehampaan
“Wah, kadang, saya
telah mempercayai sebanyak enam hal mustahil sebelum saya sarapan.”
(Lewis Carroll, dalam
Alice in Wonderland)
“Bagi manusia hal ini
tidak mungkin; tapi bagi Allah segala sesuatu mungkin.”
(Injil Matius 19:26)
“Tidak ada yang dapat
diciptakan dari ketiadaan.”
(Lucretius)
Sejenak sebelum menyelesaikan penulisan buku ini, kami mendapati
sebuah tulisan terbaru tentang kosmologi Big Bang, yang muncul dalam majalahThe
New Scientist pada tanggal 25 Februari 1995. Dalam sebuah
artikel dari Robert Matthew yang berjudul Nothing like a Vacuum,
kami membaca baris-baris berikut ini:
“Ia ada di sekitar
Anda, tapi Anda tidak akan merasakannya. Ia adalah sumber segala sesuatu, namun
ia adalah ketiadaan.”
Apakah hal yang mengagumkan ini? Sebuah kehampaan. Apa itu
kehampaan? Kata Latin vacuus, yang
merupakan akar kata vakum, berarti
kosong. Kamus mendefinisikannya sebagai “ruang yang kosong, atau dilucuti dari
segala materi atau isi; ruang apapun yang tidak ditempati atau tidak diisi;
kekosongan, blangko.” Seperti inilah pemahaman orang sampai sekarang. Tapi
tidak lagi. Kehampaan yang bersahaja itu, mengutip Tuan Matthew, telah menjadi
“salah satu dari topik paling panas yang dibicarakan dalam fisika kontemporer.”
“Ia ternyata adalah
sebuah taman ajaib yang dipenuhi dengan efek-efek yang magis: medan gaya yang
muncul begitu saja, partikel-partikel yang muncul mengada kemudian menghilang
lagi dan letupan-letupan energi yang tidak nampak sumber tenaganya.”
Berkat Heisenberg dan Einstein (Einstein yang malang!), kita
kini memiliki “pemahaman yang mengagumkan bahwa di sekitar kita
partikel-partikel sub-atomik 'virtual' terus-menerus muncul begitu saja dari
ketiadaan, dan menghilang lagi dalam sekitar 10-23 detik. Maka
'ruang hampa' tidaklah kosong sama sekali, tapi merupakan sebuah laut mendidih
dengan aktivitas yang mengisi seluruh Alam Semesta.” Pernyataan ini benar dan
sekaligus juga keliru. Benar bahwa seluruh alam semesta dipenuhi oleh materi
dan energi, dan bahwa “ruang hampa” ini tidaklah benar-benar kosong, melainkan
penuh dengan partikel, radiasi dan medan gaya. Benar bahwa partikel-partikel
terus-menerus berubah, dan bahwa beberapa di antaranya berusia sangat singkat
sehingga mereka disebut partikel “virtual”. Sama sekali sekali tidak ada yang
“menakjubkan” tentang ide-ide ini. Akan tetapi akan sangat keliru jika
mengatakan bahwa mereka “muncul begitu saja dari ketiadaan”. Kita telah
membahas kesalahan pandangan di atas dan tidak perlu mengulang apa yang telah
dibicarakan sebelumnya.
Seperti kaset yang
diputar berulang-ulang, mereka yang ingin memasukkan idealisme ke dalam fisika
terus-menerus memainkan ide bahwa kita dapat memperoleh sesuatu dari ketiadaan.
Ide ini bertentangan dengan segala hukum fisika yang diketahui, termasuk fisika
kuantum. Namun masih juga kita temui paham luar biasa ini di manaenergi dapat
diperoleh benar-benar dari ketiadaan! Ini persis seperti upaya menemukan mesin
gerak abadi, sebuah ide yang diolok-olok di masa lalu.
Fisika modern dimulai
dengan penolakan terhadap ide kuno tentang ether, sebuah medium universal yang
tak kasat matadi mana cahaya merambat. Teori relativitas khusus Einstein
membuktikan bahwa cahaya dapat berjalan melalui ruang hampa, dan tidak
membutuhkan medium khusus apapun. Ajaibnya, setelah mengutip Einstein sebagai
otoritas (hal ini merupakan kewajiban dalam fisika seperti kewajiban orang
untuk membuat tanda salib sebelum memasuki atau meninggalkan gereja, dan
kira-kira sama maknanya) Tuan Matthew meneruskan dengan menyelundupkan ether
kembali ke dalam fisika:
“Hal ini tidak
berarti bahwa fluida universal tidak mungkin ada, tapi ia memang berarti bahwa
fluida semacam itu haruslah bersesuaian dengan apa yang didiktekan oleh
relativitas khusus. Ruang hampa tidak harus hanya menjadi satu fluktuasi
kuantum di seputar sebuah keadaan rata-rata kehampaan sejati. Ia dapat menjadi
sebuah sumber energi yang permanen dan bukan nol di alam semesta.”
Sekarang, apa yang
mungkin ia maksudkan dengan pernyataan itu? Sejauh ini kita telah diberi tahu
tentang berbagai perkembangan “menakjubkan” dalam fisika, “taman ajaib” berisi
berbagai partikel dan telah diyakinkan bahwa ruang hampa memiliki cukup energi
untuk memenuhi segala kebutuhan kita. Tapi informasi yang diberikan oleh
artikel itu tidaklah memberikan sesuatu yang baru bagi kita. Artikel ini
mengandung pernyataan-pernyataan yang panjang, tapi sangat sedikit mengandung
fakta. Mungkin memang niat sang penulis untuk mengatasi sedikitnya fakta itu
dengan membuat kalimat-kalimat yang kabur. Apa yang dimaksudkan dengan “sumber
energi yang permanen dan bukan nol”, mari kita coba menerkanya. Dan apa pula
yang dimaksud dengan “keadaan rata-rata kehampaan sejati”? Jika yang dimaksudkan
adalah sebuah kehampaan sejati, mungkin lebih baik menggunakan dua kata yang
jelas ketimbang menggunakan empat kata yang tidak jelas. Pengaburan yang
disengaja seperti ini biasanya digunakan untuk menutupi pemikiran yang kacau,
khususnya dalam bidang ini. Mengapa tidak bicara dalam bahasa yang lurus-lurus
saja? Kecuali, tentu, jika yang dimaksudkan adalah “kehampaan sejati” dari
tulisan itu sendiri.
Seluruh tujuan dari
artikel ini adalah untuk menunjukkan bahwa sebuah ruang hampa menghasilkan kuantitas
energi yang tak berhingga dari ketiadaan. Satu-satunya “bukti” untuk hal ini
adalah sepasang rujukan pada teori relativitas umum dan khusus, yang secara
teratur digunakan sebagai paku untuk menggantungkan segala hipotesis ngawur.
“Relativitas khusus menuntut bahwa sifat-sifat ruang hampa harus nampak sama
bagi semua pengamat, berapapun kecepatan mereka. Agar hal ini benar, ternyata
bahwa tekanan dari 'laut' kehampaan itu harus persis berlawanan dengan
densitasnya. Ini adalah keadaan yang kedengarannya sangat biasa-biasa saja,
tapi ia memiliki konsekuensi yang menakjubkan. Ia berarti, misalnya, bahwa satu
wilayah energi ruang hampa tertentumempertahankan tingkat densitasenergi yang
sama, seberapapun kita mengembangkan wilayah itu. Ini aneh. Bandingkanlah
dengan perilaku gas biasa, yang densitasenerginya turun berbanding lurus dengan
peningkatan volumenya. Sepertinya sebuah ruang hampa dapat menarik tenaga dari
sebuah sumber yang tak pernah kering.”
Pertama, “fluida
universal” yang awalnya hanya merupakan hipotesis beberapa kalimat sebelumnya
kini telah diubah menjadi sebuah “laut” kehampaan yang nyata, walaupun dari
mana “air”-nya datang, tidak ada yang benar-benar yakin. Ini aneh. Tapi,
biarkanlah. Mari kita, seperti sang penulis, mengasumsikan apa seharusnya
dibuktikan, dan menerima keberadaan laut kehampaan maha luas ini sebagai
sesuatu yang nyata. Ternyata bahwa “ketiadaan” ini bukan hanya sesuatu, tapi
merupakan “sesuatu” yang sangat substansial. Seperti sihir, ia terisi dengan
energi“dari sumber yang tak pernah kering.” Ini seperti mitos cornucopia, yakni
“mangkuk kelimpahan” dari mitologi Yunani dan Irlandia, sebuah mangkuk minuman
misterius yang tidak pernah kering seberapapun kita minum darinya. Ini adalah
hadiah dari para dewa. Kini Tuan Matthew menyajikan pada kita sesuatu yang akan
membuat hadiah para dewa ini seakan mainan anak-anak saja.
Jika energi memasuki
ruang hampa, ia harus datang dari satu tempat di luar kehampaan itu. Ini sangat
jelas, karena sebuah ruang hampa tidak dapat hadir terisolasi dari segala
materi dan energi. Ide tentang ruang kosong tanpa materi adalah sama tidak
masuk nalarnya dengan ide tentang materi tanpa ruang. Tidak ada ruang yang
mutlak hampa di bumi. Hal yang paling dekat dengan kehampaan sempurna adalah
ruang angkasa. Tapi kenyataannya, ruang angkasa juga tidak kosong. Beberapa
dasawarsa lalu, Hannes Alfén menunjukkan bahwa ruang angkasa dipenuhi dengan
jaring-jaring arus listrik dan medan magnet yang terisi dengan benang-benang
plasma. Ini bukan hasil dari spekulasi atau permohonan terhadap teori
relativitas, tapi telah dibuktikan melalui pengamatan, termasuk oleh pesawat
ulang-alik Voyager dan Pioneer yang telah mendeteksi keberadaan arus listrik
dan benang-benang plasma itu di sekitar Yupiter, Saturnus dan Uranus.
Jadi memang terdapat
cukup banyak energi di dalam ruang. Tapi bukan energiseperti yang dibicarakan
Tuan Matthew. Sama sekali tidak mirip. Setelah membangun “laut kehampaan”-nya
ia bermaksud mendapatkan energinya langsung dari kehampaan itu sendiri. Tidak sedikit
pun materi yang diperlukan! Ini jauh lebih baik dari seorang pesulap yang
menarik kelinci dari topi. Bagaimanapun, kita semua tahu bahwa kelinci itu
datang dari satu tempat. Energi ini datang tidak dari mana-mana. Ia datang dari
sebuah kehampaan, atas izin teori relativitas umum. “Salah satu fitur kunci
dari teori relativitas umum Einstein adalah bahwa massa bukanlah satu-satunya
sumber gravitasi. Secara khusus, tekanan, baik positif maupun negatif juga
dapat menimbulkan efek gravitasi.”
Sampai titik ini, para pembaca akan kebingungan. Kini, semua
menjadi (hampir) jelas. “Fitur dari kehampaan ini,” kita diberi tahu, “terletak
di jantung dari konsep baru yang mungkin paling penting dalam kosmologi sepuluh
tahun belakangan ini: yakni gagasan inflasi kosmik. Ide ini, yang menyatakan
bahwa inflasi kosmik muncul dari asumsi bahwa janin alam semesta ini dipadati
dengan energi kehampaan yang tidak stabil, yang efek 'anti-gravitasional'-nya
melembungkan alam semesta dengan faktor kira-kira 1050 dalam waktu hanya sekitar 10-32 detik. Energi kehampaan mati, meninggalkan
fluktuasi acak yang energinya berubah menjadi panas. Karena energi dan materi
dapat saling dipertukarkan, hasilnya adalah penciptaan materi dari apa yang
kini kita sebut Big Bang.”
Jadi begitu! Seluruh
konstruksi ini ternyata dimaksudkan untuk memberi dukungan terhadap teori
inflasi kosmik dari Big Bang. Seperti biasa, mereka terus memindahkan tiang
gawang, untuk tetap mengapungkan hipotesis mereka dengan menghalalkan segala
cara. Agak mirip dengan para pendukung teori Aristoteles-Ptolomeus bahwa langit
adalah sebuah lengkung kristal, yang terus mereka perbaharui, semakin hari
semakin rumit, untuk terus membuka ruang untuk menjejalkan fakta-fakta baru ke
sana. Seperti yang telah kita lihat, teori ini sedang mengalami hari-hari buruk
belakangan ini, dengan “materi-gelap dingin” yang hilang, dan kekacauan besar
tentang konstanta Hubble. Demikian butuhnya mereka akan dukungan sekecil
apapun, para pendukungnya pasti telah berkeliling mencari penjelasan atas salah
satu masalah sentral dari teori itu – dari mana datangnya semua energi yang
diperlukan untuk mendorong terjadinya Big Bang. “Makan siang gratis yang paling
besar sepanjang jaman,” Alan Guth menyebutnya demikian. Kini mereka ingin
membebankan rekening itu pada orang lain, atau sesuatu yang lain, dan mereka
mendapati – ruang hampa. Kami meragukan apakah rekening yang satu ini akan
pernah dibayar. Dan, di dunia nyata, orang yang tidak membayar rekeningnya
pasti dilempar keluar dari restoran, bahkan kalaupun mereka mencoba memakai
teori relativitas umum sebagai ganti uang tunai yang harus dibayarkan.
“Dari ketiadaan,
melalui ketiadaan, menuju ketiadaan,” kata Hegel. Ini adalah ukiran batu nisan
yang cocok untuk teori inflasi kosmik. Sesungguhnya hanya ada satu cara untuk
mendapat sesuatu dari ketiadaan – dengan Penciptaan. Dan ini hanya mungkin jika
ada seorang Pencipta. Silakan mencoba dengan cara apapun, para pendukung Big
Bang pasti akan menemukan bahwa langkah mereka akan selalu dibimbing ke arah ini.
Beberapa di antara mereka akan berjalan dengan senang hati, yang lain memprotes
bahwa mereka bukan orang yang religius “dalam makna yang konvensional”. Tapi
gerakan kembali pada mistisisme ini adalah keniscayaan bagi mitos Penciptaan
modern ini. Untungnya, semakin harisemakin banyak orang yang tidak puas dengan
keadaan ini. Cepat atau lambat, sebuah terobosan akan terjadi pada tingkat
pengamatan, terobosan yang akan memungkinkan lahirnya teori baru, dan akhirnya
kita dapat membiarkan teori Big Bang beristirahat dengan tenang di peraduan
terakhirnya. Semakin cepat teori baru ini muncul semakin baik.
Asal-Muasal Tata Surya
Ruang angkasa tidaklah sepenuhnya kosong. Satu kehampaan
sempurna tidak ada di alam. Ruang angkasa diisi dengan gas yang tipis - “gas antar-bintang”
(interstellar
gas) yang pertama kali dideteksi oleh Hartmann di tahun 1904.
Konsentrasi gas dan debu menjadi semakin besar dan padat di daerah seputar
galaksi-galaksi, yang dikelilingi oleh semacam “kabut”, yang kebanyakan terdiri
dari atom hidrogen, yang terionisasi oleh radiasi dari bintang-bintang. Bahkan
materi ini tidaklah diam dan mati, tapi dipecah-pecah ke dalam berbagai
partikel sub-atomik bermuatan listrik, yang terpengaruh oleh segala macam
gerak, proses dan perubahan. Atom-atom ini kadangkala bertumbukan dan dengan
demikian mengubah tingkat energinya. Walau tiap atom tunggal mungkin hanya
bertumbukan sekali selama 11 juta tahun, karena jumlah atom begitu besar,
tumbukan ini cukup untuk terus melahirkan satu pancaran yang kontinu dan dapat
dideteksi, yakni “nyanyian hidrogen”, yang pertama dideteksi pada tahun 1951.
Hampir semua dari gas ini adalah hidrogen, tapi terdapat juga
deuterium, bentuk hidrogen yang lebih kompleks, oksigen dan helium.
Kelihatannya mustahil bahwa kombinasi yang lebih rumit dapat terjadi, karena
distribusi unsur-unsur ini demikian cair. Tapi penggabungan itu benar-benar
terjadi, dan dengan tingkat kompleksitas yang cukup tinggi pula. Molekul air (H2O), telah ditemukan di antariksa, demikian pula
dengan amonia (NH3), disusul oleh formaldehid (H2CO) dan molekul-molekul lain yang semakin kompleks,
yang kemudian mendorong lahirnya satu cabang ilmu baru – astrokimia. Akhirnya,
telah dibuktikan bahwa molekul dasar penyusun kehidupan – asam amino – terdapat
juga di antariksa.
Kant (1755) dan kemudian Laplace (1796) mula-mula meluncurkan
sebuah hipotesis nebular mengenai pembentukan tata surya. Menurut hipotesis
ini, matahari dan planet-planet terbentuk dari kondensasi awan materi yang maha
besar. Ini tampaknya sesuai dengan fakta dan, ketika Engels menulis The
Dialectics of Nature, teori ini telah diterima secara luas. Namun,
di tahun 1905, Chamberlain dan Moulton mengajukan teori alternatif – hipotesis
planetesimal. Ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Jeans dan Jeffrey, yang
mengajukan hipotesis pasang-surut di tahun 1918. Hipotesis ini menyatakan bahwa
tata surya berasal dari tubrukan dua bintang. Masalah dengan teori ini adalah
bahwa, jika ia benar, sistem planet akan menjadi gejala yang sangat jarang
terjadi. Jarak maha besar yang memisahkan bintang-bintang berarti tubrukan ini
akan terjadi 10.000 kali lebih jarang dari supernova – yang sendirinya
merupakan gejala yang amat jarang. Sekali lagi kita lihat bahwa upaya untuk
mengatasi sebuah masalah dengan mengandalkan pada kekuatan eksternal yang
kebetulan, seperti bintang tersasar, niscaya akan menimbulkan lebih banyak
masalah daripada yang dipecahkan.
Akhirnya, teori yang
katanya dibuat untuk menggantikan model Kant-Laplace terbukti tidak kokoh
secara matematika. Upaya-upaya lain, seperti “tumbukan tiga-bintang”
(Littleton) dan teori supernova Hoyle, juga terbukti keliru di tahun 1939,
ketika terbukti bahwa material yang ditarik dari bintang-bintang dengan cara
demikian akan menjadi terlalu panas untuk dapat berkondensasi menjadi planet.
Ia hanya akan mengembang menjadi awan gas tipis. Dengan demikian, teori
musibah-planetesimal telah digulingkan. Hipotesis nebular telah dinaikkan
kembali ke atas tahta, tapi pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Ia bukan lagi sekedar pengulangan dari ide-ide Kant dan Laplace. Misalnya,
sekarang dipahami bahwa awan gas dan debu yang digambarkan dalam model itu
haruslah jauh lebih besar dari yang diperhitungkan semula. Pada tingkat yang
demikian besar, awan itu akan mengalami turbulensi, menghasilkan
pusaran-pusaran maha besar, yang kemudian akan berkondensasi menjadi
sistem-sistem yang terpisah. Model yang sepenuhnya dialektik ini dikembangkan
di tahun 1944 oleh astronom Jerman, Carl F. von Weizsäcker, dan disempurnakan oleh
astro-fisikawan Swedia, Hannes Alfén.
Weizsäcker menghitung
bahwa akan terdapat jumlah materi yang cukup dalam pusaran galaktik itu untuk
menghasilkan galaksi-galaksi dalam proses kontraksi turbulen, yang menghasilkan
pusaran-pusaran lain yang lebih kecil. Tiap pusaran ini dapat menghasilkan tata
surya dan planet-planet. Hannes Alfén membuat telaah khusus mengenai medan
magnet matahari. Pada tahap awalnya, matahari berputar dengan kecepatan tinggi,
tapi akhirnya dilambatkan oleh medan magnetnya sendiri. Perlambatan ini
memindahkan momentum putarnya ke planet-planet. Versi baru dari teori
Kant-Laplace, yang dikembangkan oleh Alfén dan Weizsäcker, kini diterima umum
sebagai versi yang paling memungkinkan bagi asal-muasal tata surya.
Kelahiran dan
kematian bintang-bintang adalah satu contoh lebih lanjut dari kerja alam yang
dialektik. Sebelum kehabisan bahan bakar nuklirnya, bintang-bintang mengalami
satu masa evolusi berkepanjangan yang tenang dan damai selama berjuta-juta
tahun. Tapi ketika mereka mencapai titik kritisnya, mereka mengalami sebuah
akhir yang penuh gejolak, runtuh ke dalam karena beratnya sendiri dalam waktu
kurang dari satu detik. Dalam proses ini, ia memancarkan jumlah energi yang tak
terkira dalam bentuk cahaya, memancarkan lebih banyak energi dalam waktu
beberapa bulan ketimbang yang telah dipancarkannya selama kehidupannya yang
miliaran tahun itu. Namun pancaran cahaya ini hanya mewakili sebagian kecil
saja dari jumlah energi yang terlibat dalam sebuah supernova. Energi kinetik
dari ledakan itu sepuluh kali lebih besar lagi. Mungkin sepuluh kali lipat lagi
dari energi kinetik itu terbawa dalam bentuk neutrino, yang dipancarkan dalam
ledakan yang berlangsung kurang dari satu detik. Sebagian besar massa bintang
akan terlempar ke angkasa. Ledakan supernova semacam ini yang berlangsung di
pinggiran Bima Sakti melemparkan massanya, yang tereduksi menjadi debu nuklir,
yang mengandung berbagai macam unsur. Bumi dan segala isinya, termasuk kita,
seluruhnya dibangun dari pengolahan ulang limbah debu bintang ini. Zat besi di
dalam darah kita adalah salah satu sampel tipikal dari limbah kosmik yang telah
didaur ulang ini.
Revolusi-revolusi kosmik ini, seperti halnya revolusi di bumi,
adalah kejadian yang jarang. Di galaksi kita sendiri, hanya tiga supernova yang
telah tercatat dalam waktu 1000 tahun terakhir. Yang paling cemerlang dari
ketiganya, tercatat oleh para astronom Cina di tahun 1054, menghasilkan Crab
Nebula. Lebih jauh lagi, klasifikasi bintang-bintang telah membawa kita pada
kesimpulan bahwa tidak ada jenis materi baru di alam semesta ini. Materi yang
sama hadir di mana-mana. Ciri utama dari spektrum bintang-bintang
memperlihatkan keberadaan unsur-unsur yang juga hadir di bumi. Perkembangan
astronomi infra-merah telah menyediakan alat untuk menjelajahi interior dari
awan gelap interstellar (antar-bintang), di mana mungkin
kebanyakan bintang-bintang baru sedang terbentuk. Astronomi radio telah mulai
mengungkap komposisi dari awan-awan ini – kebanyakan adalah hidrogen dan debu,
tapi dengan campuran dari berbagai molekul dengan kompleksitas yang
mengejutkan, banyak di antaranya adalah molekul organik.
Kelahiran tata surya
kita sekitar 4,6 miliar tahun lalu berawal ceceran debu yang berasal dari
sebuah bintang yang kini telah punah. Matahari kita yang sekarang menggumpal di
pusat awan datar yang berputar, sementara planet-planet menggumpal pada
berbagai titik di seputar matahari. Dipercayai bahwa planet-planet luar –
Yupiter, Saturnus, Uranus dan Pluto – adalah satu sampel dari awan asli itu:
hidrogen, helium, metana, amonia dan air. Planet-planet dalam yang lebih kecil
– Merkurius, Venus, Bumi dan Mars – lebih kaya akan unsur-unsur yang lebih
berat dan lebih miskin dalam gas-gas semacam helium dan neon, yang sanggup
meloloskan diri dari gravitasi mereka yang relatif lebih lemah.
Aristoteles mengira
bahwa segala yang ada di bumi adalah fana, tapi apa yang ada di langit tidak
berubah dan kekal. Kini kita tahu bahwa tidak demikian halnya. Ketika kita
memandang kekelaman langit malam yang teramat luas, kita tahu bahwa setiap
benda langit yang menyinari kegelapan itu satu hari akan pudar dan padam. Bukan
hanya manusia yang fana, tapi bintang-bintang itu sendiri, yang menyandang
nama-nama dewa-dewi, akan pula mengalami penderitaan dan kegairahan dari perubahan,
kelahiran dan kematian. Dan, dengan cara yang aneh, pengetahuan ini justru
membawa kita lebih dekat pada alam semesta, dari mana kita datang dan ke mana
kita kelak akan kembali. Matahari kita pada saat ini masih memiliki cukup
hidrogen untuk bersinar miliaran tahun lagi dalam keadaannya yang sekarang.
Walau demikian, akhirnya, suhunya akan meningkat sampai di mana kehidupan di
bumi akan menjadi mustahil. Semua makhluk harus musnah, tapi keragaman yang
menakjubkan dari alam semesta material dalam segala perwujudannya adalah kekal
dan tak termusnahkan. Kehidupan lahir, mati, dan lahir lagi dan lagi.
Demikianlah telah terjadi sebelumnya. Demikianlah ia akan terjadi
selama-lamanya.
_______________
Catatan Kaki
[1] Yohanes 1:1, “Inthe beginning was the Word” atau “Pada
mulanya adalah Firman”.
[2]Dikutip oleh Lerner, The Big Bang Never Happened, hal. 214.
[3]Lerner, The Big Bang Never Happened, hal. 152.
[4] Lerner 158.
[5] John Wayne (1907-1979) adalah aktor Amerika yang terkenal
memainkan tokoh protagonis yang maskulin dan macho dalam film-film koboi.
[6]Lerner, The Big Bang Never Happened, hal. 39-40.
[7] Dalam Kitab Perjanjian Baru, diceritakan bagaimana Paulus
bertobat. Paulus, yang sebelum pertobatannya bernama Saulus, awalnya adalah
orang yang menindas para pengikut Yesus dari Narareth. Dia ditugaskan untuk
menghancurkan gereja Kristen awal. Satu hari, ketika dalam perjalanan ke
Damaskus, dia jatuh dari kudanya dan mendapat penglihatan di mana Tuhan
berbicara padanya. Tiga hari tiga malam dia menjadi buta, dan tidak bisa makan
dan minum. Hamba Tuhan, Ananias, diberi sabda untuk menemui Saulus dan
menyembuhkannya. Saulus kemudian bertobat, mengganti namanya menjadi Paulus,
dan menjadi penyebar Firman Tuhan yang paling terkemuka.
[8] The Rubber Universe, hal. 11 dan 14
[9] Dikutip dari Lerner, The Big Bang Never Happened, hal.
164-5.
[10] Davies, The
Last Three Minutes, hal. 123, 124-5 dan 126.
[11]Lerner, The Big Bang
Never Happened, hal. 14.
[12] Lerner, The Big
Bang Never Happened. hal. 52, 196, 209 dan 217-8.
[13] Lerner, The Big
Bang Never Happened, hal. 153-4, 221 dan 222.
[14] Lerner 149.
[15] Ferris 204.
[16] S. W. Hawking,
A Brief History of Time, From the Big Bang to Black Holes, hal. 34.
[17] Hawking 46-7
dan 33.
[18] Engels,
Anti-Dühring, hal. 64-5.
[19] Engels,
Anti-Dühring, hal. 68.
[20] Hawking 50 dan
88-9.
[21] Hawking 89.
[22] Engels, The
Dialectics of Nature, hal. 68-9.
[23] Hawking 116.
[24] Engels,
Anti-Dühring, hal. 62-3.
[25] Lerner 161.
[26]W. Rees-Mogg dan J.
Davidson 447.
0 komentar:
Post a Comment