ABAB I
PENDAHULUAN
Penulis: Yusuf Abdul Aziz
Penulis: Yusuf Abdul Aziz
1.1 Latar Belakang masalah
Konstitusi merupakan hukum-hukum atau aturan-aturan dasar yang
harus kita pahami Dasar Negara menjadi sumber bagi pembentukan konstitusi.
Dasar Negara menempati kedudukan sebagai norma hukum tertinggi suatu Negara.
Sebagai norma tertinggi, dasar Negara menjadi sumber bagi pembentukan
norma-norma hukum dibawahnya. Konstitusi adalah salah satu norma hukum dibawah
dasar Negara. Dalam arti yang luas : konstitusi adalah hukum tata negara, yaitu
keseluruhan aturan dan ketentuan (hukum) yang menggambarkan sistem
ketatanegaraan suatu negara. Dalam arti tengah : konstitusi adalah hukum dasar,
yaitu keseluruhan aturan dasar, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis
Dalam arti sempit : konstitusi adalah Undang-Undang Dasar,
yaitu satu atau beberapa dokumen yang memuat aturan-aturan yang bersifat pokok.
Dengan demikian, konstitusi bersumber dari dasar Negara.norma hukum dibawah
dasar Negara isinya tidak boleh bertentangan dengan norma dasar. Isi norma
tersebut bertujuan mencapai cita-cita yang terkandung dalam dasar Negara. Dasar
Negara merupakan cita hukum dar Negara. Jadi kaitan antara dasar Negara dengan
konstitusi adalah dasar Negara menjadi sumber bagi penyusunan konstitusi.
Konstitusi sebagai norma hukum dibawah dasar Negara haru bersumber dan berdasar
pada dasar Negara.
1.2 Rumusan
Masalah
- Apakah pengertian dari
konstitusi?
- Bagaimanakah sejarah dan
perubahan konstitusi di sebagian negara?
- Apakah tujuan konstitusi?
- Apakah isi konstitusi?
1.3 Tujuan
- Untuk mengetahui definisi
konstitusi.
- Untuk mengetahui sejarah dan
perubahan konstitusi di sebagian negara.
- Untuk mengetahui tujuan dari
konstitusi.
- Untuk mengetahui isi dan esensi
dari konstitusi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi konstitusi
Pengertian
konstitusi dan Undang-Undang Dasar.
Aturan tata tertib hidup bernergara yang menjadi dasar segala
tindakan dalam kehidupan negara sering disebut sebagai hukum dasar atau
konstitusi.
Konstitusi sering disebut sebagai
Undang-Undang Dasar, meskipun arti konstitusi itu sendiri adalah hukum dasar
yang tertulis dan tidak tertulis. Undang-Undang Dasar tergolong hukum dasar
yang tertulis, sedangkan hukum dasar yang tidak tertulis adalah aturan-aturan
dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara,
meskipun tidak tertulis. Hukum dasar yang tidak tertulis ini sering disebut
konvensi. Dikatakan konvensi karena mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
- Merupakan kebiasaan yang
berulang-ulang dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara.
- Tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar dan berjalan sejajar.
- Diterima oleh seluruh rakyat.
- Bersifat pelengkap, sehingga
memungkinkan sebagai aturan dasar yang tidak terdapat dalam Undang-Undang
Dasar.
- Secara etimologi kata
Konstitusi berasal dari bahasa Perancis, constituir sama
dengan Membentuk = pembentukan suatu Negara/menyusun dan menyatakan sebuah
Negara. Konstitusi juga bisa berarti peraturan dasar (awal) mengenai
pembentukan Negara. Bahasa belanda konstitusi = Groungwet =
undang – undang dasar (ground = Dasar, wet = undang-undang. Di
Jerman kata konstitusi dikenal dengan istilah Grundgeset,yang
berarti Undang-undang dasar (grund = dasar, gesetz =
undang-undang.
- Secara
terminologi konstitusi adalah sejumlah aturan-aturan dasar dan
ketentuan-ketentuan hukum yang dibentuk unsur mengatur fungsi dan struktur
lembaga pemerintahan termasuk dasar hubungan kerja sama antara Negara dan
Masyarakat (rakyat) dalam kontek kehidupan berbangsa dan bernegara.
- Namun apabila konstitusi
dipandang sebagai fundamental laws atau lembaran hukum
dasar bagi segala kehidupan masyarakat di suatu negara, maka jelaslah
konstitusi menjadi bagian kajian ilmu hukum. Kemudian apabila konstitusi
dipandang sebagai peratutran dasar paling awal bagi pembentukan atau
pendirian sebuah Negara, maka konstitusi merupakan bagian dari kajian ilmu
Negara. Sementara apabila konstitusi dipandang sebagai lembaran konsesus
politik segenap masyarakat sebuah Negara-bangsa, maka jelaslah konstitusi
merupakan bagian dari kajian ilmu politik.
2.2 Sejarah
konstitusi
Sebagai Negara yang berdasarkan hukum, tentu saja
Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan undang-undang dasar 1945.
Eksistensi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi di Indonesia mengalami
sejarah yang sangaat panjang hingga akhirnya diterima sebagai landasan hukum
bagi pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia.
Dalam sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 dirancing sejak
29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh badan penyelidik usaha-usaha persiapan
kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa jepang dikenal dengan
dokuritsu zyunbi tyoosakai yang beranggotakan 21 orang, diketuai Ir. Soekarno
dan Drs. Moh, Hatta sebagai wakil ketua dengan 19 orang anggota yang terdiri
dari 11 orang wakil dari Jawa, 3 orang dari Sumatra dan masing-masing 1 wakil
dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda kecil. Badan tersebut (BPUPKI) ditetapkan
berdasarkan maklumat gunseikan nomor 23 bersamaan dengan ulang tahun Tenno
Heika pada 29 April 1945 (Malian, 2001:59)
Badan ini kemudian menetapkan tim khusus yang bertugas menyusun
konstitusi bagi Indonesia merdeka yang kemudian dikenal dengan nama
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45). Para tokoh perumus itu adalah antara lain
Dr. Radjiman Widiodiningrat, Ki Bagus Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata,
Pangeran Purboyo, Pangeran Soerjohamidjojo, Soetarjo Kartohamidjojo, Prop. Dr.
Mr. Soepomo, Abdul Kadir, Drs. Yap Tjwan Bing, Dr. Mohammad Amir (Sumatra), Mr.
Abdul Abbas (Sumatra), Dr. Ratulangi, Andi Pangerang (keduanya dari Sulawesi),
Mr. Latuharhary, Mr. Pudja (Bali), AH. Hamidan (Kalimantan), R.P. Soeroso,
Abdul Wachid hasyim dan Mr. Mohammad Hasan (Sumatra).
Latar
belakang terbentuknya konstitusi (UUD’45) bermula dari janji Jepang untuk memberikan
kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dikemudian hari. Janji tersebut antara lain
berisi “sejak dari dahulu, sebelum pecahnya peperangan asia timur raya, Dai
Nippon sudah mulai berusaha membebaskan bangsa Indonesia dari kekuasaan
pemerintah hindia belanda. Tentara Dai Nippon serentak menggerakkan angkatan
perangnya, baik di darat, laut, maupun udara, untuk mengakhiri kekuasaan
penjajahan Belanda”.
Sejak saat
itu Dai Nippon Teikoku memandang bangsa Indonesia sebagai saudara muda serta
membimbing bangsa Indonesia dengan giat dan tulus ikhlas di semua bidang,
sehingga diharapkan kelak bangsa Indonesia siap untuk berdiri sendiri sebagai
bangsa Asia Timur Raya. Namun janji hanyalah janji, penjajah tetaplah penjajah
yang selalu ingin lebih lama menindas dan menguras kekayaan bangsa Indonesia.
Setelah Jepang dipukul mundur oleh sekutu, Jepang tak lagi ingat akan janjinya.
Setelah menyerah tanpa syarat kepada sekutu, rakyat Indonesia lebih bebas dan
leluasa untuk berbuat dan tidak bergantung pada Jepang sampai saat kemerdekaan
tiba.
Setelah
kemerdekaan diraih, kebutuhan akan sebuah konstitusi resmi nampaknya tidak bisa
ditawar-tawar lagi, dan segera harus dirumuskan. Sehingga lengkaplah Indonesia
menjadi sebuah Negara yang berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari
setelah ikrar kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
mengadakan sidangnya yang pertama kali dan menghasilkan beberapa keputusan
sebagai berikut:
- Menetapkan dan mengesahkan
pembukaan UUD 1945 yang bahannya diambil dari rancangan undang-undang yang
disusun oleh panitia perumus pada tanggal 22 Juni 1945.
- Menetapkan dan mengesahkan UUD
1945 yang bahannya hampir seluruhnya diambil dari RUU yang disusun oleh
panitia perancang UUD tanggal 16 Juni 1945.
- Memilih ketua persiapan
kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno sebagai presiden dan wakil ketua Drs.
Muhammad Hatta sebagai wakil presiden.
- Pekerjaan presiden untuk
sementara waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang
kemudian menjadi komite Nasional.
- Dengan terpilihnya presiden dan
wakilnya atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 itu, maka secara formal
Indonesia sempurna sebagai sebuah Negara, sebab syarat yang lazim
diperlukan oleh setiap Negara telah ada yaitu adanya:
- Rakyat, yaitu bangsa Indonesia.
- Wilayah, yaitu tanah air
Indonesia yang terbentang dari sabang hingga ke merauke yang terdiri dari
13.500 buah pulau besar dan kecil.
- Kedaulatan yaitu sejak mengucap
proklamasi kemerdekaan Indonesia.
- Pemerintah yaitu sejak
terpilihnya presiden dan wakilnya sebagai pucuk pimpinan pemerintahan
Negara
Tujuan Negara yaitu mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila. Bentuk Negara yaitu Negara
kesatuan.
2.3 Perkembangan dan
perubahan konstitusi di Indonesia
Konstitusi sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam
penyelenggaraan suatu negara dapat berupa konstitusi tertulis dan konstitusi
tidak tertulis. Dalam hal konstitusi terstulis, hampir semua negara di dunia
memilikinya yang lajim disebut undang-undang dasar (UUD) yang pada umumnya
mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai
lembaga kenegaraan serta perlindungan hak azasi manusia. Negara yang
dikategorikan sebagai negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis adalah
Inggris dan Kanada. Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap semua
lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak azasi manusia terdapat pada adat
kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif baru
maupun yang sudah sangat tua seperti Magna Charta yang berasal dari tahun 1215
yang memuat jaminan hak-hak azasi manusia rakyat Inggris.Karena ketentuan
mengenai kenegaraan itu tersebar dalam berbagai dokumen atau hanya hidup dalam
adat kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris masuk dalam kategori negara yang
memiliki konstitusi tidak tertulis.
Adanya negara yang dikenal sebagai negara konstitusional tetapi tidak
memiliki konstitusi tertulis, nilai-nilai, dan norma-norma yang hidup dalam
praktek penyelenggaraan negara juga diakui sebagai hukum dasar, dan
tercakup pula dalam pengertian konstitusi dalam arti yang luas. Karena itu,
Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma
hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam
praktek penyelenggaraan negara sehari-hari, termasuk ke dalam pengertian
konstitusi atau hukum dasar (droit constitusionnel) suatu Negara.
Dalam perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara,
konstitusi menempati posisi yang sangat penting. Pengertian dan materi muatan
konstitusi senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia
dan organisasi kenegaraan. Kajian tentang konstitusi semakin penting dalam
negara-negara modern saat ini yang pada umumnya menyatakan diri sebagai negara
konstitusional, baik demokrasi konstitusional maupun monarki konstitusional.
Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat diketahui prinsip-prinsip dasar
kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu
negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat
peradaban suatu bangsa.
Suatu konstitusi tertulis, sebagaimana halnya Undang-Undang Dasar
1945 (UUD 1945), nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat serta
praktek penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke
dalam naskah Undang-Undang Dasar. Karena itu, suasana kebatinan
(geistichenhentergrund) yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis,
politis, dan historis perumusan juridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar
perlu dipahami dengan seksama, untuk dapat mengerti dengan sebaik-baiknya
ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Dasar tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja.
Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami konteks filosois,
sosio-historis sosio-politis, sosio-juridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang
mempengaruhi perumusannya. Di samping itu, setiap kurun waktu dalam sejarah
memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi
kerangka pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman (ield of
experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda, sehingga proses pemahaman
terhadap suatu ketentuan Undang-Undang Dasar dapat terus berkembang dalam
praktek di kemudian hari. Karena itu, penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar
pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang, memerlukan rujukan
standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga
Undang-Undang Dasar tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak
oleh pihak manapun juga. Untuk itulah, menyertai penyusunan dan perumusan
naskah Undang-Undang Dasar, diperlukan pula adanya Pokok-Pokok pemikiran
konseptual yang mendasari setiap perumusan pasal-pasal Undang-Undang Dasar
serta keterkaitannya secara langsung atau tidak langsung terhadap semangat
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang paling
mendasar dari gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde
Baru pada tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat
faktor penyebab otoritarian Orde Baru hanya pada manusia sebagai pelakunya,
tetapi karena kelemahan sistem hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan dan
ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang
pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah dinyatakan oleh
Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 .
Gagasan perubahan UUD 1945 menemukan momentumnya di era reformasi. Pada awal
masa reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat
Madani yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan
Perundang-Undangan. Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen
UUD 1945 yang perlu dilakukan mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan
dalam UUD 1945. Gagasan perubahan UUD 1945 menjadi kenyataan dengan
dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada
Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah
perubahan UUD 1945 yaitu:
- Sepakat untuk tidak mengubah
Pembukaan UUD 1945.
- Sepakat untuk mempertahankan
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;.
- Sepakat untuk mempertahankan
sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar
betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
- Sepakat untuk memindahkan
hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal
UUD 1945; dan
5.
Sepakat untuk menempuh cara
adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945 Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara
bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR dari tahun 1999
hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan
kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian
secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No.
I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua pada
tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada tahun
2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami
perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat
mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah
menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali,
meskipun tetap dinamakan sebagai Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan Pertama
UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan antara tanggal
12 sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan Pertama
itu tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai
tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan romantisme
di sebagian kalangan masyarakat yang cenderung menyakralkan atau menjadikan UUD
1945 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan
sama sekali. Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9 pasal UUD 1945,
yaitu atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 21.
Kesembilan pasal yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut seluruhnya
berisi 16 ayat atau dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar.
Gelombang perubahan atas naskah UUD 1945 terus berlanjut,
sehingga dalam Sidang Tahunan pada tahun 2000, MPR-RI sekali lagi menetapkan
Perubahan Kedua yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan materi yang diubah
pada naskah Perubahan Kedua ini lebih luas dan lebih banyak lagi, yaitu
mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI tentang Pemerintah
Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab IXA tentang Wilayah
Negara, Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, Bab XA tentang Hak Asasi
Manusia, Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Bab XV tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jika ke-27 pasal
tersebut dirinci jumlah ayat atau butir ketentuan yang diaturnya, maka isinya
mencakup 59 butir ketentuan yang mengalami perubahan atau bertambah dengan
rumusan ketentuan baru sama sekali.
Setelah itu, agenda perubahan dilanjutkan lagi dalam Sidang
Tahunan MPR-RI tahun 2001 yang berhasil menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD
1945 pada tanggal 9 November 2001. Bab-bab UUD 1945 yang mengalami perubahan
dalam naskah Perubahan Ketiga ini adalah Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan,
Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara, Bab V tentang Kementerian Negara, Bab VIIA tentang Dewan
Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA tentang Badan
Pemeriksa Keuangan. Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23 pasal, dan 68 butir
ketentuan atau ayat. Dari segi jumlahnya dapat dikatakan naskah Perubahan
Ketiga ini memang paling luas cakupan materinya. Tapi di samping itu, substansi
yang diaturnya juga sebagian besar sangat mendasar. Materi yang tergolong sukar
mendapat kesepakatan cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang
terdahulu. Karena itu, selain secara kuantitatif materi Perubahan Ketiga ini
lebih banyak muatannya, juga dari segi isinya, secara kualitatif materi
Perubahan Ketiga ini dapat dikatakan Sangay mendasar pula.
Perubahan yang terakhir dalam rangkaian gelombang reformasi
nasional sejak tahun 1998 sampai tahun 2002, adalah perubahan yang ditetapkan
dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002. Pengesahan naskah Perubahan Keempat
ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dalam naskah Perubahan Keempat ini,
ditetapkan bahwa (a) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan perubahan
keempat ini adalah Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan
Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada
tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (b) Penambahan bagian akhir
pada Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
dengan kalimat “Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang
Tahunan Majelis permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan”; (c) pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat
(4) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menjadi Pasal 3 ayat (2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) penghapusan judul
Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta
penempatannya ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan negara; (e)
pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8
ayat (3), Pasal 11 ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3);
Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal
32 ayat (1) dan ayat (2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan
Tambahan Pasal I dan II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Secara keseluruhan naskah Perubahan Keempat UUD 1945 mencakup 19
pasal, termasuk satu pasal yang dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal
tersebut terdiri atas 31 butir ketentuan yang mengalami perubahan, ditambah 1
butir yang dihapuskan dari naskah UUD. Paradigma pemikiran atau pokok-pokok
pikiran yang terkandungdalam rumusan pasal-pasal UUD 1945 setelah mengalami
empat kali perubahan itu benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang terkandung
dalam naskah asli ketika UUD 1945 pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus
1945. Bahkan dalam Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945
ditegaskan, “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan
dan pasal-pasal”. Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus
2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan lampiran tak terpisahkan
dari naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Jikapun
isi Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD 1945 setelah empat kali berubah,
jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian, karena pokok pikiran yang
terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali berbeda dari apa
yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 tersebut.
2.4 Tujuan
pembentutkan konstitusi
Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi
konstitusionil, undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi
kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak
bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan
lebih terlindung. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme.
Cara pembatasan yang dianggap paling efektif ialah dengan
jalan membagi kekuasaan. Kata Carl J. Friedrich: “dengan jalan membagi
kekuasaan, konstitusionalisme menyelenggarakan suatu sistim pembatasaan yang efektif
atas tindakan-tindakan pemerintah” (Constitutionalism by dividing power
providesa system of effective restraints upon governmental action).
Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam undang-undang dasar mempunyai fungsi
yang khusus dan merupakan perwujudan atau menifestasi dari hukum yang tertinggi
yang harus ditaati, bukan hanya oleh rakyat, tetapi pemerintah serta penguasa
sekalipun.
Gagasan konstitusionalisme telah timbul lebih dahulu dari pada
konstitusi itu sendiri. Konstitusionalisme dalam arti penguasa perlu dibatasi
kekuasaannya dan kerena itu kekuasaannya harus diperinci secara tegas, telah
timbul di Abad pertengahan (Midle Ages) Eropa. Pada tahun 1215, raja John dari
Inggris dipaksa oleh beberapa bangsawan untuk mengakui beberapa hak mereka,
yang kemudian ducantumkan dalam magna Charta (Piagam Besar).
Dalam Charter of English Liberties ini raja John menjamin
bahwa pemungutan pajak tidak akan dilakukan tanpa persetujuan dari yang
bersangkutan, dan bahkan tidak akan diadakan penangkapan tanpa peradilan. Meskipun
belum sempurna, Magna Charta di dunia Barat dipandang sebagai permulaan dari
gagasan dari konstitusionalisme serta pengakuan terhadap kebebasan dan
kemerdekaan rakyat.
Menurut Miriam Budiarjo, setidaknya setiap konstitusi memuat lima
ketentuan (atau ciri-ciri). Adapun kelima ketentuan tersebut adalah:
- Organisasi negara, misalnya
pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif;
dalam negara federal, pembagian kekuasaan antar pemerintah negara-bagian;
prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu
badan pemerintah dan sebagainya.
- Hak-hak asasi manusia (biasanya
disebut Bill of Rights kalau berbentuk naskah
tersendiri);
- Prosedur mengubah undang-undang
dasar;
- Adakalanya memuat larangan
untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar. Hal ini biasanya
terdapat jika para penyusun undang-undang dasar ingin menghindari
terulangnya kembali hal-hal yang baru daja teratasi, seperti misalnya
munculnya seorang diktator atau kembalinya suatu monarki. Misalnya
undang-undang dasar jerman melarang untuk mengubah sifat federalisme
dari undang-undang dasar, oleh karena dikawatirkan bahwa sifat unitarisme
dapat melicinkan jalan untuk munculnya kembali seorang diktator seperti
Hitler.
Selain dari itu dijumpai bahwa undang-undang
dasar sering memuat cita-cita rakyat dan azaz-azaz ideollogi negara. Ungkapan
ini mencerminkan semangat dan spirit yang oleh penyusun undang-undang dasar
ingin diabadikan dalam undang-undang dasar itu sehingga mewarnai seluruh naskah
undang-undang dasar itu. Misalnya undang-undang dasar Amerika Serikat yang
diresmikan dalam thaun 1789 menonjolkan keinginan untuk memperkokoh
penggabungan 13 negara merdeka dalam suatu Uni, mengatakan pada permulaan
Undang-Undang Dasar: “kami, rakyat Amerika Serikat, dalam keinginan untuk
membentuk suatu Uni yang lebih sempurna. . . . (“We, the people of the United
States, in order to form a more perpect Union, . .do ordain and establish this
Constitution for the United States of America”.)
Konstitusi menurut Sovernin Lohman yang di kutip Dede
Rosyada, et al., harus memuat unsur-unsur sebagai berikut:
- Konstitusi di pandang sebagai
perwujudan perjanjian masyarakat (kontrak sosial). Artinya bahwa
konstitusi merupakan konklusi dari kesepakatan masyarakat untuk membina
negara dan pemerintahan yang akan mengatur mereka.
- Konstitusi sebagai piagam yang
menjamin hak-hak asasi manusia dan warga negara sekaligus penentuan
batas-batas hak dan kewajiban warga negara dan alat-alat pemerintahannya,
- Konstitusi sebagai forma
regimenis yaitu kerangka bangunan pemerintahan.
Dalam penyusun atau pembuatan konstitusi, selain harus mengandung
ketentuan-ketentuan atau unsur-unsur sebagaimana disebutkan di atas, juga
tentunya memiliki sejumlah tujuan yang hendak dicapai (juga sering disebut
fungsi konstitusi). Di antara tujuan konstitusi itu adalah untuk:
- Pembatasan sekaligus pengawasan
terhadap proses-proses kekuasaan politik.
- Melepaskan kontrol kekuasaan
dari penguasaan sendiri.
- Memberikan batasan-batasan
ketetapan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
- Aturan main (rule of the game)
fundamental bagi setiap kehidupan bermasyarakat dan kehidupan bernegara.
Bagian Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga dapat dikatakan
memuat prinsip-prinsip, asas-asas dan tujuan dari bangsa Indonesia yang akan di
wujudkan dengan jalan bernegara. Dari prinsip-prinsip, asas-asas dan tujuan
dari bangsa Indonesia tersebut terkandung pula nilai-nilai yang mewarnai isi
konstitusi pertama, antara lain:
- Bahwa pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 merupakan pernyataan kemerdekaan yang terinci, karena
terkandung suatu pengakuan tentang nilai hak kodrat, yaitu hak yang
merupakan karunia dari tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada manusia
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Hak kodrat ini bersifat
mutlak, karenanya tidak dapat diganggu gugat, sehingga penjajahan sebagai
pelanggaran terhadap hak kodrat ini tidak sesuai dengan peri kemanusiaan
dan harus dihapuskan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
- Berdasarkan pembahasan di atas
dapat disimpulkan bahwa Konstititusi dalam arti sempit, yaitu sebagai
hukum dasar yang tertulis dan tidak tertulis atau Undang-Undang.
- Konstitusi dalan arti luas,
yaitu sebagai hukum dasar yang tertulis atau undang-undang Dasar dan hukum
dasar yang tidak tertulis / Konvensi.
- Terbentuknya Konstitusi itu
berawal dari janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa
Indonesia dikemudian hari, akan tetapi, janji hanyalah janji, dan penjajah
tetaplah panjajah yang selalu ingin menguasai negara indonesia.
- Dengan adanya pembagian
wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan
hak azasi manusia, masyarakat Indonesia terasa lebih terlindungi dengan
hal itulah perkembangan konstitusi di Indonesia.
3.2 Saran
Pembentukan konstitusi sangatlah penuh dengan perjuangan. Perjalan pencarian
jatidiri bangsa Indonesia berupa sejarah perubahan- perubahan konstitusi cukup
melelahkan. Begitu pentingnya konstitusi, mari kita jaga bersama kekokohan tiang-
tiang Bangsa Indonesia, yaitu UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Sulaeman, Asep. 2012. Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan. Bandung: Asman Press
Budiarjo, Miriam.
2000. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gamedia
Gatara, A.A.
Sahid. 2008. Civic Education: Pendidikan Politik,
Nasionalisme Dan Demokrasi. Bandung: Q-Vision,
Priyanto, A. T Sugeng, dkk. 2008.
Contextual Teaching and Learning: Pendidikan Kewarganegaraan.
Jakarta: PT Gramedia
http://id.wikipedia.org/wiki/
0 komentar:
Post a Comment