Kemampuan manusia
untuk berpikir secara logis adalah hasil dari proses evolusi sosial yang
panjang. Kemampuan ini mendahului penemuan logika formal, bukan hanya dalam
jangka ribuan, tapi jutaan tahun. Locke telah menyatakan pemikiran ini di abad
ke-17, ketika ia menulis: “Tuhan tidaklah demikian hemat
terhadap manusia sehingga Ia membuatnya menjadi sekedar makhluk berkaki dua,
dan kemudian menyerahkan tugas membuat mereka rasional kepada Aristoteles.” Di
balik Logika, menurut Locke, berdirilah “satu kemampuan naif untuk menangkap
koherensi atau ketidakkoherenan dari ide-idenya sendiri.”[1]
Kategori-kategori logika tidaklah jatuh dari langit.
Bentuk-bentuk ini telah terbangun dalam jalannya perkembangan sosio-historis
umat manusia. Mereka semua adalah generalisasi paling mendasar atas realitas,
yang tercermin dalam pikiran manusia. Semua ditarik dari fakta bahwa setiap
objek memiliki kualitas tertentu yang membedakannya dengan objek-objek yang
lain; bahwa segala hal hadir dalam hubungan tertentu dengan hal lain; bahwa
objek-objek tersusun dalam kelas-kelas yang semakin tinggi, di mana mereka
memiliki kesamaan dalam sifat-sifat tertentu; bahwa fenomena-fenomena tertentu
mengakibatkan terjadinya fenomena-fenomena lain, dan seterusnya
Sampai batas tertentu, seperti yang dinyatakan oleh Trotsky,
hewan pun memiliki kemampuan untuk berpikir dan menarik kesimpulan tertentu
dari situasi yang dihadapinya. Pada mamalia yang lebih tinggi, dan khususnya
pada kera, kemampuan ini telah maju cukup jauh, seperti yang ditunjukkan dengan
cukup mencolok oleh penelitian baru-baru ini mengenai simpanse bonobo. Walau
demikian, sekalipun kemampuan berpikir mungkin bukanlah monopoli spesies
manusia, kemampuan untuk berpikir secara rasional telah mencapai titik
tertinggi yang telah dicapainya sejauh ini hanya pada perkembangan
intelektualitas manusia.
Abstraksi adalah keharusan mutlak. Tanpanya, pemikiran secara
umum tidaklah dimungkinkan. Pertanyaannya: abstraksi macam apa? Ketika saya
mengabstraksi realitas, saya berkonsentrasi pada beberapa aspek dalam gejala
tertentu, dan mengabaikan aspek-aspek lainnya. Seorang pembuat peta yang baik,
contohnya, bukanlah seorang yang menggambar ulang setiap detil dari tiap rumah
dan batu trotoar, apalagi tiap mobil yang diparkir. Jumlah detil yang demikian
banyak akan menghancurkan kegunaan dari peta itu sendiri, yang dibuat untuk
menyajikan satu skema umum yang enak dilihat dari sebuah kota atau wilayah
geografis yang lain. Begitu juga, sejak awal otak telah belajar mengabaikan
bunyi-bunyi tertentu dan berkonsentrasi pada bunyi-bunyi yang lain. Jika kita
tidak dapat melakukan ini jumlah informasi yang mencapai telinga kita dari
segala sisi akan membuat otak kelebihan beban. Bahasa sendiri menyaratkan satu
tingkatan abstraksi yang tinggi.
Kemampuan untuk
membuat abstraksi yang tepat, yang cukup mencerminkan realitas yang ingin kita
pahami dan gambarkan, adalah prasyarat esensial bagi pemikiran ilmiah.
Abstraksi logika formal cukup untuk menyatakan dunia nyata hanya dalam
batas-batas yang cukup sempit. Tapi logika ini sepihak dan statis, dan sangat
tidak cukup untuk menangani proses yang kompleks, terutama pergerakan,
perubahan dan kontradiksi. Kekonkretan satu objek mengandung jumlah-total dari
semua aspek dan interrelasinya, yang ditentukan oleh hukum-hukum dasar
internalnya. Tugas dari ilmu sains adalah untuk menyingkap hukum-hukum ini,
untuk sampai sedekat mungkin pada realitas konkret itu. Seluruh tujuan dari
kognisi adalah untuk merefleksikan dunia objektif dan hukum-hukum dasarnya dan
hubungan-hubungannya sejauh mungkin. Seperti yang dinyatakan oleh Hegel, “Kebenaran itu selalu konkret.”
Tapi di sini kita
melihat satu kontradiksi. Mustahillah untuk sampai pada pemahaman tentang dunia
alam konkret tanpa terlebih dahulu menarik abstraksi. Kata “abstrak” datang
dari bahasa Latin yang berarti “mengambil dari”. Melalui
sebuah proses abstraksi, kita mengambil beberapa aspek yang kita anggap penting
dari objek yang sedang direnungkan, dan mengabaikan aspek-aspek lainnya.
Pengetahuan abstrak pastilah sepihak karena ia hanya menyatakan satu sisi
tertentu dari fenomena yang sedang diamati, terisolasi dari apa yang menentukan
sifat khusus dari keseluruhannya. Dengan demikian, matematika akan berurusan
secara eksklusif dengan hubungan-hubungan kuantitatif. Karena kuantitas adalah
aspek yang sangat penting dari alam, abstraksi matematika telah menyediakan
bagi kita satu alat yang sangat penting untuk menyelami rahasia-rahasia alam
itu. Karena alasan ini, kita sering tergoda untuk melupakan sifat dasar dan
keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya. Karena matematika, bagaimanapun,
tetaplah sepihak, seperti segala macam abstraksi yang lain. Kita menjerumuskan
diri sendiri ke dalam bahaya karena kelalaian ini.
Alam mengenal kualitas dan juga kuantitas. Jika kita ingin
memahami salah satu proses paling mendasar di alam ini, kita harusmenentukan
hubungan antara keduanya, dan menentukan bagaimana yang satu berubah menjadi
yang lain pada titik kritis tertentu. Ini adalah salah satu konsepsi dasar dari
pemikiran dialektik, yang berseberangan dengan pemikiran formal, dan juga salah
satu sumbangannya yang paling penting untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Kebijaksanaan yang dalam yang disediakan oleh metode ini, yang sudah lama
dicaci sebagai “ajaran mistis”, baru kini dipahami dan diperhatikan. Pemikiran
abstrak yang sepihak, yang terwujud dalam logika formal, telah membawa kerugian
besar bagi ilmu pengetahuan dengan mengekskomunikasikan dialektika. Tapi,
hasil-hasil nyata yang telah dicapai ilmu sains telah menunjukkan bahwa,
ujung-ujungnya, pemikiran dialektik jauh lebih dekat dengan proses nyata yang
terjadi di alam dibandingkan abstraksi linear dari logika formal.
Sangatlah penting untuk mendapatkan pemahaman konkret atas objek
sebagai satu sistem yang integral, bukan sekedar pecahan-pecahan yang saling
terisolasi satu dari lainnya; dengan semua kesalingterhubungannya yang
kontradiktif, bukan hubungan yang terjadi di luar konteks, seperti seekor
kupu-kupu yang terpaku pada papan koleksi museum; dalam kehidupan dan
pergerakannya, bukan sesuatu yang mati dan statis. Pendekatan semacam ini
berada dalam konflik terbuka dengan apa yang disebut “hukum-hukum” logika
formal, penyataan paling mutlak dari pemikiran dogmatik yang pernah ditemui
manusia, yang merupakan sejenis rigor mortis mental. Tapi alam hidup dan
bernafas, dan dengan keras kepala menolak mengikuti pemikiran formalistik. “A”
tidak harus sama dengan “A”. Partikel-partikel sub-atomik sekaligus adalah
dirinya sendiri dan bukan dirinya sendiri. Proses linear akan selalu berakhir
dalam chaos. Yang keseluruhan selalu lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya.
Kuantitas berubah menjadi kualitas. Evolusi itu sendiri bukanlah sebuah proses
yang gradual, tapi diselingi di sana-sini dengan lompatan-lompatan yang
mendadak. Apa yang dapat kita lakukan tentang hal ini? Fakta adalah hal yang
keras kepala.
Tanpa abstraksi, mustahilbagi kita untuk bisa menerobos objek
“secara dalam”, untuk memahami sifat-sifat hakikinya dan hukum-hukum geraknya.
Melalui kerja mental abstraksi, kita dapat memahami lebih jauh daripada
informasi segera yang disajikan oleh indera kita (persepsi-inderawi), dan
menjelajah lebih jauh. Kita dapat memecah berbagai objek menjadi bagian-bagian
penyusunnya, mengisolasi mereka, dan menelaah masing-masing secara rinci. Kita
dapat sampai pada satu pemahaman yang ideal dan umum terhadap objek dalam
bentuknya yang “murni”, setelah dilucuti dari semua ciri sekundernya. Ini
adalah hasil kerja abstraksi, satu tahapan yang mutlak perlu bagi proses
kognisi. Lenin menulis:
“Pemikiranyang bergerakdari
yangkonkret menuju ke yang abstrak – asalkan ia tepat (dan Kant, seperti semua
filsuf lainnya, berbicara tentang pemikiran yang tepat) – tidak akan bergeser
dari kebenaran tapi justru mendekat kepadanya. Abstraksi dari materi, dari
sebuah hukum alam, abstraksi dari nilai, dan lain-lain, pendeknya segala abstraksi
ilmiah (tepat, serius, tidak absurd) mencerminkan alam dengan lebih dalam,
benar dan lengkap. Dari persepsi hidup ke pemikiran abstrak, dan dari sini
menuju praktek– inilah jalur dialektis dari kognisi terhadap kebenaran, dari
kognisi terhadap realitas objektif.”[2]
Salah satu fitur utama dari pemikiran manusia adalah bahwa ia
tidaklah terbatas pada “apa yang sebenarnya” tapi juga mengurusi “apa yang
seharusnya”. Kita tak pernah berhenti membuat segala macam asumsi logis tentang
dunia yang kita diami. Logika yang tidak dipelajari dari buku, tapi merupakan
hasil dari sebuah periode evolusi yang panjang. Percobaan-percobaan yang rinci
telah menunjukkan bahwa bentuk-bentuk awal logika telah didapat oleh seorang
bayi pada usia yang masih amat muda melalui pengalaman. Kita berpendapat bahwa
jika sesuatu benar, maka hal lainnya, yang kita tidak memiliki pengalaman
langsung tentang itu, pasti juga benar. Proses berpikir logis seperti itu telah
terjadi jutaan kali sepanjang hidup kita, tanpa kita sadari. Proses ini menjadi
sebuah kebiasaan, bahkan tindakan paling sederhana dalam kehidupan ini akan
mustahil kita lakukan tanpanya.
Aturan-aturan dasar
berpikir telah dianggap wajar oleh banyak orang. Aturan-aturan itu adalah
bagian hidup kita yang kita kenal baik, dan tercermin pula dalam banyak
peribahasa, seperti “kamu tak dapat tetap memiliki kuemu jika kamu memakannya”
(you can’t have your cake and eat it)– satu pelajaran
yang penting untuk dipelajari tiap anak kecil! Pada titik tertentu, hukum-hukum
ini ditulis dan disistematisir. Inilah asal-usul logika formal. Kita harus
memberi penghargaan pada Aristoteles untuk itu, selain untuk hal-hal lainnya.
Hal ini sangatlah berharga, karena tanpa pengetahuan tentang hal-hal yang
mendasar, kita berisiko menjerumuskan pikiran kita menjadi tidak koheren.
Sangatlah perlu untuk dapat membedakan hitam dari putih, dan mengetahui
perbedaan antara pernyataan yang benar dan yang salah. Nilai dari logika
formal, dengan demikian, tidaklah perlu dipermasalahkan lagi. Masalahnya adalah
bahwa kategori-kategori dari logika formal, yang ditarik dari pengalaman dan
pengamatan yang cakupannya terbatas, hanya sahih di dalam batasan-batasan ini.
Batasan-batasan ini memang mencakup berbagai fenomena yang terjadi sehari-hari,
tapi tidaklah cukup untuk menjelaskan sebuah proses yang lebih kompleks, yang
melibatkan pergerakan, turbulensi, kontradiksi, dan perubahan dari kuantitas ke
kualitas.
Dalam sebuah artikel
menarik yang berjudul The Origins of Inference,
yang muncul dalam antologi Making Sense,
tentang bagaimana seorang anak memandang dunia di sekitarnya, Margaret
Donaldson menarik perhatian kita pada salah satu masalah dalam logika
sehari-hari –yakni karakternya yang statis:
“Logika verbal biasanya tampak sebagai 'keadaan-latar' [state of
affairs] – dunia ini dilihat sebagai hal yang statis, di dalam jaring-jaring
waktu. Dan dilihat seperti ini, alam semesta nampaknya tidak mengandung
ketidakcocokan: segala sesuatu adalah seperti adanya. Objek yang di seberang
sana adalah sebatang pohon; mangkuk itu berwarna biru; orang itu lebih tinggi
dari orang yang ini. Tentu saja berbagai keadaan-latar ini menghalangi
munculnya berbagai keadaan-latar yang lain, tapi bagaimana kita tahu tentang
hal ini? Bagaimana ide tentang ketidakcocokan muncul dalam pemikiran kita?
Tentunya bukan langsung dari kesan kita tentang segala-sesuatu-seperti-adanya.”
Buku itu juga membuat satu pernyataan sahih bahwa proses
mengetahui bukanlah pasif melainkan aktif:
“Kita tidaklah
duduk-duduk dengan pasif menunggu dunia menancapkan citranya tentang 'realitas'
pada kita. Melainkan, seperti yang kini diakui secara luas, kita mendapatkan
banyak dari pengetahuan kita yang paling mendasar melalui tindakan-tindakan
yang dilakukan dengan sadar.”[3]
Pemikiran manusia
pada hakikatnya adalah konkret. Pikiran tidaklah dengan segera menyerap
konsep-konsep yang abstrak. Kita paling merasa akrab dengan apa yang ada di
depan kedua mata kita, setidaknya dengan hal-hal yang dapat disajikan dengan
konkret. Kelihatannya pikiran kita perlu menggenggam satu bentukan citra
tertentu. Tentang hal ini, Margaret Donaldson berkomentar bahwa “bahkan
anak-anak taman bermain sering kali dapat menarik logika yang baik dari
cerita-cerita yang mereka dengar. Walau demikian, ketika kita maju lebih jauh
dari apa yang ditangkap indera manusia perbedaannya sangatlah dramatis.
Pemikiran yang tidak lagi bergerak di dalam batasan-batasan ini, sehingga ia
tidak lagi bekerja di bawah dukungan konteks berbagai peristiwa yang kita
pahami, sering kali disebut 'formal' atau 'abstrak'.”[4]
Proses awal itu, dengan demikian, maju dari yang konkret ke yang
abstrak. Objek itu dibedah, ditelaah, guna mendapatkan satu pengetahuan yang
rinci mengenai tiap bagiannya. Tapi hal ini ada bahayanya. Tiap bagian tidaklah
dapat dipahami dengan tepat jika dipisahkan dari hubungannya dengan yang
keseluruhan. Kita perlu mengembalikan bagian-bagian itu menjadi satu sistem
yang utuh, dan memahami dinamika internalnya dalam keadaan utuh. Dengan cara
ini, proses kognisi maju dari yang abstrak, kembali pada yang konkret. Inilah
hakikat dari metode dialektik, yang menggabungkan analisa dengan sintesa,
induksi dan deduksi.
Seluruh tipu daya idealisme diturunkan dari pemahaman yang tidak
tepat mengenai sifat-sifat abstraksi. Lenin menunjukkan bahwa kemungkinan jatuh
pada idealisme selalu ada dalam tiap abstraksi. Konsepsi abstrak atas suatu hal
akan selalu didudukkan balik pada hal itu sendiri. Konsepsi itu bukan hanya
dianggap memiliki keberadaan dalam dirinya sendiri, melainkan juga dianggap
lebih mulia dari realitas materialnya yang kasar. Kekonkretan digambarkan
sebagai hal yang cacat, tidak sempurna dan tidak murni, dibandingkan dengan Ide
yang sempurna, mutlak dan murni. Dengan demikian, realitas didirikan terjungkir
dengan kepala di bawah.
Kemampuan untuk berpikir dalam abstraksi menandai satu
pencapaian raksasa dalam intelektualitas manusia. Bukan hanya ilmu-ilmu
“murni”, tapi juga ilmu-ilmu teknik akan mustahil tanpa pemikiran abstrak, yang
mengangkat kita ke atas realitas yang segera dan terbatas dari contoh-contoh
konkret, dan memberi karakter universal pada pemikiran itu sendiri. Penolakan
yang membabi-buta terhadap pemikiran abstrak dan teori menunjukkan keadaan
mental yang sempit dan terbelakang, yang membayangkan diri sebagai “praktis”,
padahal, pada kenyataannya, impoten. Pada akhirnya, kemajuan-kemajuan besar
dalam teori akan membimbing kita menuju kemajuan-kemajuan besar dalam praktek.
Walau demikian, semua ide diturunkan dengan cara tertentu dari dunia fisik,
dan, pada akhirnya, harus diterapkan kembali pada dunia fisik itu. Kesahihan
satu teori harus didemonstrasikan, cepat atau lambat, dalam praktek.
Di tahun-tahun terakhir telah terjadi reaksi melawan
reduksionisme mekanik, dengan mengajukan satu kebutuhan akan sebuah pendekatan
yang holistis terhadap ilmu pengetahuan. Sayangnya istilah holistis itu sendiri
sering dikaitkan dengan ajaran mistis. Walau demikian, dalam mencoba melihat
segala hal dalam pergerakan dan kesalingterhubungannya, teori chaos tak
disangkal lagi dekat dengan dialektika. Hubungan yang sebenarnya antara logika
formal dan dialektika adalah hubungan antara cara berpikir yang
memisah-misahkan segala hal dan menelaahnya secara terpisah, dan cara berpikir
yang sanggup menyatukan kembali bagian-bagian itu dan membuat mereka utuh
kembali. Jika pemikiran mau bersesuaian dengan realitas, ia harus mampu
memahaminya sebagai satu keutuhan yang hidup, dengan segala kontradiksi yang
dikandungnya.
Apa itu Silogisme?
“Pemikiran logis, pemikiran formal secara umum,” ujar Trotsky,
“disusun di atas basis metode deduktif, yang bergerak dari silogisme yang lebih
umum melalui sejumlah premis menuju satu kesimpulan yang sewajarnya. Rantai
silogisme semacam itu disebut dengan sorites.”[5]
Aristoteles adalah orang pertama yang menulis sebuah penjabaran
yang sistematis atas logika formal dan logika dialektik, sebagai metode
penalaran. Tujuan dari logika formal adalah untuk menyediakan kerangka kerja
untuk membedakan argumen yang sahih dan yang tidak sahih. Hal ini dilakukannya
dalam bentuk silogisme. Ada berbagai bentuk silogisme, yang sebenarnya
merupakan varian dari tema yang sama.
Aristoteles, dalam bukunya Organon, menyebut sepuluh kategori –
substansi, kuantitas, kualitas, hubungan, tempat, waktu, posisi, keadaan, aksi,
gairah – yang membentuk basis bagi logika dialektik, yang kemudian
disempurnakan dalam tulisan-tulisan Hegel. Sisi lain dari karya Aristoteles
tentang logika ini sering diabaikan. Bertrand Russell, contohnya, menganggap
bahwa kategori-kategori ini tidak bermakna. Tapi karena para positivis logis
seperti Russell telah secara praktis mencoret seluruh sejarah filsafat (kecuali
potongan-potongan yang bersesuaian dengan dogma-dogma mereka) sebagai “tidak
bermakna”, ini seharusnya tidak terlalu mengejutkan atau merepotkan kita.
Silogisme adalah cara
berpikir logis, yang dapat digambarkan dengan berbagai cara. Definisi yang
diberikan Aristoteles sendiri adalah sebagai berikut: “Satu diskursus di mana berbagai hal dinyatakan, hal-hal lain yang
tidak dinyatakan harus mengikuti apa yang dinyatakan karena hal-hal itu
dinyatakan demikian.” Definisi yang paling sederhana diberikan oleh A. A. Luce:
“Sebuah silogisme adalah satu triad [pasangan ganda tiga] dari proposisi yang
yang saling berhubungan, terhubung sedemikian rupa sehingga salah satu dari
ketiganya, yang disebut Kesimpulan, harus mengikuti kedua pernyataan yang lain,
yang disebut Premis.”[6]
Orang-orang
Terpelajar (Schoolmen)dari abad pertengahan memusatkan perhatian
mereka pada jenis logika formal yang dikembangkan Aristoteles dalam The Prior and Posterior Analytics. Dalam bentuk inilah
logika Aristoteles diwariskan sampai Abad Pertengahan. Dalam prakteknya,
silogisme ini mengandung dua premis dan satu kesimpulan. Subjek maupun predikat
dari kesimpulan masing-masing muncul dalam salah satu dari kedua premis, bersama
dengan bagian ketiga (termin tengah) yang ditemukan dalam kedua premis, tapi
tidak di dalam kesimpulan. Predikat dari kesimpulan adalah termin mayor; premis
di mana ia terkandung disebut premis mayor; subjek dari kesimpulan adalah
termin minor; dan premis di mana ia terkandung disebut premis minor. Contohnya,
1.
a) Semua manusia
adalah fana. (Premis mayor)
2.
b) Caesar adalah
seorang manusia. (Premis minor)
3.
c) Dengan demikian,
Caesar adalah fana. (Kesimpulan)
Ini disebut satu
pernyataan kategorikal afirmatif. Pernyataan ini memberi kesan sebagai sebuah
rantai logis dari sebuah argumen, di mana tiap tahap niscaya diturunkan sebagai
hasil dari tahap sebelumnya. Tapi, sebenarnya, bukan itu yang terjadi, karena
“Caesar” sebenarnya telah termasuk dalam himpunan “semua manusia”. Kant, seperti Hegel, menganggap rendah
silogisme (“doktrin yang bertele-tele,” ujar Kant). Baginya,
silogisme “tidaklah lebih dari sekedar satu tipuan” di
mana kesimpulan sebenarnya telah disisipkan tersembunyi dalam premis sehingga
kesan penalaran yang ditimbulkannya adalah palsu.[7]
Jenis lain silogisme
berbentuk kondisional (jika ... maka ...), contohnya: “Jika seekor hewan adalah seekor harimau, maka ia adalah pemakan
daging.” Ini adalah cara lain untuk menyatakan hal yang sama
dengan pernyataan kategorikal afirmatif, yaitu, semua harimau adalah pemakan
daging. Hubungan yang sama terjadi pada bentuk negatifnya:“Jika ia adalah seekor ikan, maka ia bukanlah hewan menyusui” adalah
cara lain untuk menyatakan “Tidak ada ikan yang menyusui”.
Perbedaan formal ini menyembunyikan fakta bahwa kita belum maju selangkahpun
dalam pemikiran kita.
Apa yang sebenarnya baru saja ditunjukkan adalah hubungan
internal antara berbagai hal, bukan hanya dalam pikiran tapi juga dalam dunia
nyata. “A” dan “B” terhubung dengan satu cara tertentu terhadap “C” (bagian
tengah) dan premis-premis, dengan demikian, mereka terhubung satu sama lain di
dalam kesimpulan. Dengan pemahaman dan kedalaman yang dahsyat, Hegel
menunjukkan bahwa apa yang ditunjukkan oleh silogisme adalah hubungan dari yang
khusus ke yang umum. Dengan kata lain, silogisme itu sendiri adalah satu contoh
dari kesatuan hal-hal yang bertentangan, kontradiksi dalam tingkatan paling
sempurna, dan bahwa, dalam kenyataannya, segala hal adalah “silogisme”.
Masa keemasan
silogisme terjadi dalam Abad Pertengahan, ketika Orang-orang Terpelajar (Schoolmen) mengabdikan seluruh hidup mereka dalam
perdebatan tanpa ujung tentang segala persoalan teologis yang kabur, seperti
“apa jenis kelamin malaikat?” Konstruksi logika formal yang berbelit-belit itu
membuat mereka nampak sedang terlibat dalam satu diskusi yang mendasar padahal,
kenyataannya, mereka tidak sedang berdebat sama sekali. Ini semua karena sifat
logika formal itu sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh namanya, logika ini
hanya mengurusi segala yang memiliki bentuk [form]. Masalah tentang hakikat
atau isi tidak termasuk di dalamnya. Inilah cacat utama dari logika formal, dan
sekaligus adalah urat Achilles-nya.
Pada masa Jaman Pencerahan, yakni ketika semangat kemanusiaan
bangkit kembali, ketidakpuasan terhadap logika Aristotelian meluas dengan
cepat. Ada reaksi yang semakin tumbuh dalam melawan Aristoteles, yang
sesungguhnya tidak adil terhadap pemikir besar ini, tapi sesungguhnya berakar
dari fakta bahwa Gereja telah menindas segala yang berharga dalam filsafatnya,
dan hanya memelihara karikatur yang tak bernyawa dari filsafat yang sangat
tinggi nilainya itu. Bagi Aristoteles, silogisme hanyalah satu proses dalam
tata berpikir, dan tidak harus juga menjadi bagian yang terpenting darinya.
Aristoteles juga menulis tentang dialektika, dan tapi aspek ini dilupakan.
Logika dilucuti dari segala kehidupan yang dimilikinya dan diubah, mengutip
Hegel, menjadi “tulang-tulang tak bernyawa.”
Penolakan terhadap formalisme tak bernyawa ini tercermin dalam
gerakan empirisme, yang memberikan dorongan besar pada penyelidikan dan
percobaan ilmiah. Walau demikian, mustahillah untuk sama sekali mengabaikan
sama sekali satu bentuk pemikiran, dan empirisme telah sejak kelahirannya
membawa benih-benih kehancurannya sendiri. Satu-satunya alternatif yang
berharga untuk metode penalaran yang penuh kekurangan dan tidak tepat ini
adalah dengan mengembangkan metode yang tepat dan tanpa kekurangan.
Di akhir Abad
Pertengahan, silogisme telah sama sekali dipermalukan di mana-mana, dan
dihinakan dan dilecehkan. Rabelais, Petrach dan Montaigne, mereka semua
mengutuknya. Tapi silogisme masih terus bertahan, terutama di negeri-negeri
Katolik, yang tidak tersentuh oleh badai yang ditiupkan oleh Reformasi
Protestan. Di akhir abad ke-18, logika berada dalam keadaan yang demikian buruk
sehingga Kant merasa berkewajiban untuk meluncurkan satu kritik umum terhadap
bentuk-bentuk cara berpikir lama dalam bukunya Critique
of Pure Reason.
Hegel adalah orang pertama yang menempatkan hukum-hukum logika
formal ke dalam analisis yang sepenuhnya kritis. Di dalam analisis ini ia
menyempurnakan kerja yang telah dimulai oleh Kant. Tapi di mana Kant hanya
menunjukkan kekurangan-kekurangan dan kontradiksi-kontradiksi yang terkandung
di dalam logika tradisional, Hegel maju lebih jauh, menguraikan satu pendekatan
yang sama sekali berbeda terhadap logika, satu pendekatan dinamis yang akan
memasukkan pergerakan dan kontradiksi ke dalam logika, dua hal yang tidak
sanggup ditangani oleh logika formal.
Apakah Logika Mengajari Kita
Bagaimana Harus Berpikir?
Dialektika tidak berkehendak mengajari kita bagaimana kita harus
berpikir. Ini adalah klaim palsu dari logika formal, yang dijawab Hegel secara
ironis bahwa apa yang diajarkan logika tentang bagaimana berpikir adalah
sejajar dengan apa yang diajarkan psikologi tentang bagaimana mengunyah
makanan! Manusia berpikir, dan bahkan berpikir secara logis, jauh sebelum
mereka mendengar tentang logika. Kategori logika, dan juga dialektika,
diturunkan dari pengalaman nyata. Sekalipun mereka memasang kedok apapun, kategori-kategori
logika formal tidaklah melayang di atas dunia realitas material, tapi merupakan
abstraksi kosong belaka yang diambil dari realitas yang dipahami dalam cara
yang sepihak dan statis, dan kemudian secara acak diterapkan kembali pada
realitas itu.
Secara kontras, hukum pertama metode dialektik adalah
objektivitas mutlak. Dalam tiap kasus, sangatlah penting untuk menemukan
hukum-hukum gerak dari sebuah fenomena tertentu dengan menelaahnya dari segala
sudut pandang. Metode dialektik bernilai sangat tinggi dalam upaya mendekati
segala hal dengan tepat, dengan menghindarikekeliruan-kekeliruan filsafat yang
mendasar, dan untuk membuat hipotesa ilmiah yang sahih. Dengan melihat jumlah
ajaran mistis yang muncul dari hipotesa acak itu, terutama dalam bidang fisika
teori, ini bukanlah satu keuntungan sama sekali! Tapi metode dialektik selalu
berusaha menurunkan kategori-kategorinya dari satu telaah yang hati-hati
tentang fakta dan proses, bukan dengan memaksakan fakta ke dalam penjara teori
yang telah dibangun dengan prasangka:
“Kita semua setuju,” tulis
Engels, “bahwa dalam segala bidang ilmu sains, di alam maupun dalam ilmu
sejarah, kita harus maju berlandaskan fakta yang telah ada, dalam ilmu-ilmu
alam berarti: dari berbagai bentuk material dan berbagai bentuk gerak material;
berarti, dalam ilmu alam teoritik pun kesalingterhubungan tidaklah boleh
dipaksakan kepada fakta tapi harus digali darinya, dan ketika telah ditemukan
harus pula diuji sejauh mungkin melalui percobaan.”[8]
Sains dibangun
berdasarkan pencarian hukum-hukum umum yang dapat menjelaskan bekerjanya alam.
Dengan mengambil titik tolak dari pengalaman, ia tidaklah membatasi diri pada
sekedar pengumpulan fakta, tapi berupaya untuk menggeneralisirnya berdasarkan
pengalaman, maju dari yang khusus ke yang universal. Sejarah ilmu pengetahuan
dicirikan oleh proses pendekatan yang semakin lama semakin dalam. Kita semakin
mendekat pada kebenaran tanpa pernah mengerti “seluruh kebenaran”. Pada
akhirnya, ujian terhadap kebenaran ilmiah adalah eksperimen. “Eksperimen,” kata Feynman, “adalah satu-satunya hakim dari 'kebenaran' ilmiah.”[9]
Kesahihan
bentuk-bentuk pemikiran harus, ujung-ujungnya, bergantung pada apakah ia
berhubungan dengan realitas dunia fisik. Hal ini tidak boleh ditetapkan di muka
atau apriori, tapi harus ditunjukkan melalui pengamatan dan
eksperimen. Logika formal, berlawanan dengan segala ilmu alam, tidaklah
empiris. Ilmu pengetahuan menurunkan data-datanya dari pengamatan atas
dunia-nyata. Logika diharuskan bersikap apriori, menetapkan
kebenaran di muka, tidak seperti materi-subjek yang ditanganinya. Ada sebuah
kontradiksi yang begitu jelas antara hakikat dan bentuk. Logika tidak harus
diturunkan dari dunia nyata, tapi ia terus diterapkan pada fakta-fakta dunia
nyata itu. Apa hubungan antara kedua sisi ini?
Kant telah lama menjelaskan bahwa bentuk-bentuk logika haruslah
mencerminkan realitas objektif, atau ia akan menjadi tidak bermakna sama
sekali:
“Ketika kita memiliki
alasan untuk menganggapsebuah penilaian sebagai sesuatu yang harus bersifat
universal ... kita harus pula menganggapnya objektif, yaitu, bahwa penilaian
itu tidaklah sekedar sebuah rujukan atas pandangan kita terhadap satu subjek
tertentu, tapi juga atas kualitas dari objek itu. Karena tidak akan ada alasan
bagi penilaian orang lain untuk selalu bersepakat dengan penilaian saya, jika
tidak ada kesatuan atas objek yang mereka rujuk, dan yang merupakan landasan
persepakatan mereka; dengan demikian, mereka semua harus saling bersepakat.”[10]
Ide ini dikembangkan lebih jauh oleh Hegel, yang membuang
keambiguan dalam teori pengetahuan dan logika Kant, dan akhirnya diberi satu
basis yang kuat oleh Marx dan Engels:
“Skema-skema logika,”
tegas Engels, “hanya dapat berhubungan dengan bentuk-bentuk pemikiran; tapi apa
yang kita urusi di sini hanyalah bentuk-bentuk keberadaan, dari dunia di luar
kita, dan bentuk-bentuk ini tak akan pernah dapat diciptakan dan diturunkan
dari pemikiran itu sendiri, tapi hanya dari dunia nyata itu. Tapi dengan
demikian seluruh keterhubungan ini dibalik: prinsip-prinsip tidaklah dijadikan
titik awal penyelidikan, tapi sebagai hasil-hasil akhirnya; prinsip-prinsip
tidaklah diterapkan atas alam dan sejarah manusia, tapi diabstraksi dari sana;
bukanlah alam dan kemanusiaan yang harus menuruti prinsip-prinsip ini, tapi
prinsip-prinsip hanyalah sahih sejauh mereka bersesuaian dengan alam dan
sejarah.”[11]
Batas-batas Hukum Identitas
Ada satu fakta yang mengejutkan bahwa hukum-hukum dasar logika
formal yang dikembangkan oleh Aristoteles secara fundamental tak terusik selama
lebih dari dua ribu tahun. Dalam masa ini, kita telah menyaksikan proses
perubahan tanpa henti di segala bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan
pemikiran manusia. Tapi tetap saja para ilmuwan puas dengan terus menggunakan
alat-alat metodologi yang pada dasarnya sama dengan apa yang digunakan oleh
Orang-orang Terpelajar di masa-masa di mana ilmu pengetahuan masih berada di
taraf alkimia.
Karena peranan sentral yang telah dimainkan oleh logika formal
dalam pemikiran Barat, sangatlah mengejutkan betapa kecil perhatian yang telah
dicurahkan pada hakikat sejatinya, makna dan sejarahnya. Biasanya ia dianggap
sebagai sesuatu yang wajar, benar dengan sendirinya, dan statis sepanjang
segala abad. Atau ia disajikan sebagai satu konvensi yang nyaman, di mana
orang-orang yang punya otak dapat bersepakat tentang segala sesuatu, untuk
memfasilitasi pemikiran dan perdebatan, seperti halnya orang-orang yang hidup
di lingkungan beradab bersepakat tentang tatakrama makan yang baik. Ide yang
disajikan adalah bahwa seluruh hukum-hukum logika adalah bangunan yang
artifisial, yang dibangun oleh para ahli logika, dengan kepercayaan bahwa hukum-hukum
ini memiliki penerapan dalam beberapa bidang pemikiran, di mana mereka akan
dapat menyingkapkan satu atau lain kebenaran. Tapi mengapa hukum-hukum logika
memiliki keabsahan atas segala hal, jika mereka sendiri adalah bangunan
abstrak, khayalan acak yang disusun di dalam otak?
Tentang ini, Trotsky memberi komentar yang ironis:
“Mengatakan bahwa orang telah
mencapai satu kesepakatan mengenai silogisme adalah hampir sama dengan
mengatakan, atau tepatnya persis sama dengan mengatakan, bahwa orang-orang telah
mencapai kesepakatan untuk memiliki lubang di hidungnya. Silogisme tidaklah
lebih dari sebuah hasil perkembangan organik, yaitu, perkembangan
antropologi-biologis dan sosial dari kemanusiaan, setara dengan perkembangan
berbagai organ tubuh, di antaranya adalah organ penciuman kita.”
Kenyataannya, logika formal pada akhirnya harus diturunkan dari
pengalaman, seperti halnya segala cara berpikir yang lain. Dari pengalaman
mereka, manusia menarik berbagai kesimpulan, yang kemudian mereka terapkan
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini bahkan berlaku pula untuk hewan,
sekalipun dalam tingkatan yang berbeda.
“Seekor ayam tahu bahwa gandum
secara umum berguna, diperlukan dan nikmat. Ia mengenali sebutir gandum sebagai
bulir gandum dengan menarik satu kesimpulan logis dengan mempergunakan
paruhnya. Silogisme Aristoteles hanyalah merupakan satu ekspresi yang
terartikulasi dari penarikan kesimpulan mental yang mendasar itu, yang kita
amati dilakukan pula dalam berbagai tingkatan oleh hewan-hewan.”[12]
Trotsky pernah berkata bahwa hubungan antara logika formal
dengan logika dialektik mirip dengan hubungan antara matematika rendah dan
matematika tinggi. Yang satu tidaklah menyangkal keharusan yang lain dan tetap
sahih pada tahapan tertentu. Mirip pula dengan hukum-hukum Newton, yang
mendominasi selama ratusan tahun, kini terbukti tidak berlaku di dunia partikel
sub-atomik. Lebih tepat lagi, fisika mekanik lama, yang telah dikritik tajam
oleh Engels, kini terbukti sepihak dan hanya memiliki penerapan yang terbatas.
“Dialektika,” tulis Trotsky,
“bukanlah fiksi maupun mistisisme, tapi merupakan ilmu tentang bentuk-bentuk
pemikiran kita sejauh ia tidak dibatasi pada masalah-masalah dalam hidup
sehari-hari melainkan pada upaya-upaya untuk mencapai pemahaman tentang proses
yang lebih kompleks dan luas.”[13]
Metode yang paling
dikenal umum dari logika formal adalah deduksi, yang berupaya untuk menegaskan
kebenaran kesimpulan-kesimpulannya dengan memenuhi dua kondisi yang berbeda: a)
kesimpulan itu haruslah benar-benar mengalir dari premis-premisnya; dan b)
premis-premis itu sendiri harus benar. Jika kedua kondisi ini dipenuhi, argumen
itu disebut sebagai sahih. Ini semua sangat melegakan. Kita ada di sini, di
dunia nalar sehat. “Benar atau salah?”“Ya atau
tidak?” Kaki kita tertanam kokoh di tanah. Nampaknya kita telah
sampai pada “kebenaran, seluruh kebenaran, dan bukan
sesuatu pun selain kebenaran.” Tidak ada lagi yang harus
dikatakan. Atau masihkah?
Dari sudut pandang logika formal, bukanlah satu hal yang patut
dirisaukan apakah premis-premis itu benar atau salah. Selama kesimpulan dapat
ditarik dengan tepat dari premis-premis itu, inferensinya akan disebut sebagai
sahih secara deduktif. Yang penting adalah membedakan antara inferensi yang
sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, dari sudut pandang logika formal,
penilaian berikut ini adalah sahih secara deduktif: Semua ilmuwan memiliki dua
kepala. Einstein adalah seorang ilmuwan. Maka, Einstein memiliki dua kepala.
Kesahihan inferensi tidaklah tergantung dari materi-subjek sama sekali, dengan
cara ini, bentuk berada di atas hakikat.
Dalam prakteknya, tentu saja, segala metode berpikir yang tidak
menunjukkan kebenaran dari premis-premisnya akan dianggap lebih buruk dari
sekedar tidak berguna. Premis-premis haruslah ditunjukkan kebenarannya. Tapi
hal ini akan membawa kita pada kontradiksi lagi. Proses menguji kebenaran dari
satu set premis akan otomatis menimbulkan satu himpunan permasalahan baru, yang
pada gilirannya akan harus diuji lagi kebenarannya. Seperti yang ditunjukkan
Hegel, tiap premis memberi kita silogisme baru, dan demikian seterusnya sampai
tak berhingga. Sehingga apa yang kelihatannya sangat sederhana ternyata
sangatlah kompleks dan kontradiktif.
Kontradiksi yang
terbesar terletak pada premis dasar dari logika formal itu sendiri. Walaupun
logika formal menuntut segala sesuatu di bumi ini untuk diuji dihadapan
Mahkamah Agung Silogisme, logika itu sendiri menjadi rancu ketika diminta
membenarkan anggapan-anggapannya sendiri. Mendadak ia kehilangan segala
kemampuan kritisnya, dan akan menyandarkan diri pada iman, nalar sehat, “hal yang jelas benar”, atau klausal penyelamat paling
ampuh dari filsafat –apriori. Nyatanya, apa yang disebut
aksioma logika hanyalah rumusan-rumusan yang tak terbukti. Rumusan semacam
inilah yang diambil sebagai titik tolak, dari mana semua rumusan lanjut
(teorema) dideduksi, seperti yang terjadi dalam geometri klasik, di mana titik
tolaknya disediakan oleh prinsip-prinsip Euclides. Prinsip-prinsip itu dianggap
benar, tanpa perlu membutuhkan bukti apapun lagi, yaitu, kita harus mengimani
prinsip-prinsip itu.
Tapi, bagaimana jika aksioma dasar dari logika formal terbukti
salah? Maka kita akan berada pada posisi yang persis sama seperti ketika kita
memberi Einstein satu kepala tambahan. Apakah dapat diterima bahwa hukum-hukum
abadi logika mungkin keliru? Mari kita periksa hal ini lebih teliti. Hukum
dasar logika formal adalah:
1.
Hukum tentang
identitas (“A” = “A”).
2.
Hukum tentang
kontradiksi (“A” tidak sama dengan “bukan-A”).
3.
Hukum tentang
tanpa-antara (“A” tidak sama dengan “B”).
Hukum-hukum ini,
sepintas lalu, tampaknya sangat masuk di akal. Bagaimana mungkin kita
menentangnya? Walau demikian, telaah yang lebih teliti menunjukkan bahwa
hukum-hukum ini penuh dengan masalah dan kontradiksi yang filsafati sifatnya.
Dalam bukunya Science of Logic, Hegel menyediakan
satu telaah yang rinci tentang Hukum Identitas, menunjukkan bahwa hukum-hukum
ini sepihak dan, dengan demikian, tidaklah tepat.
Pertama-tama, mari kita perhatikan bahwa kesan adanya satu
kepastian rantai argumen, di mana langkah yang satu diikuti oleh langkah yang
lain, adalah khayal belaka. Hukum kontradiksi hanyalah menyatakan kembali hukum
identitas dalam bentuk yang negatif. Hal yang sama berlaku pada hukum yang
ketiga. Apa yang kita lihat di sini hanyalah pengulangan dari hukum yang
pertama dalam bentuk yang berbeda-beda. Semua hal tegak atau runtuh berdasarkan
hukum tentang identitas (“A” = “A”). Sepintas lalu, tidak akan ada yang dapat
membuat hal ini keliru. Ia adalah Yang Tersuci Dari Segala Yang Suci Dalam
Logika, dan tidak boleh dipertanyakan lagi. Tapi, ia telah dipertanyakan, dan
penanyanya adalah salah satu pemikir terbesar yang pernah hidup di muka bumi.
Ada satu kisah yang ditulis oleh Hans-Christian Andersen
berjudul “Jubah Baru Sang Raja”, di mana seorang kaisar yang agak bodoh membeli
selembar jubah dari seorang penipu, jubah yang indah tapi tidak nampak. Kaisar
yang dungu ini berjalan-jalan dengan jubah barunya, setiap orang bersepakat
bahwa jubah itu memang indah, sampai satu hari seorang anak menyatakan bahwa
kaisar itu, pada kenyataannya, telanjang bugil. Hegel berbuat hal yang serupa
untuk dunia filsafat dengan kritiknya terhadap logika formal. Para pembela
logika formal tidak pernah memaafkan Hegel atas perbuatannya ini.
Apa yang dikenal sebagai hukum tentang identitas itu, pada
kenyataannya, adalah tautologi. Secara paradoks, dalam logika tradisional, hal
ini selalu dianggap sebagai salah satu dari kesalahan terbesar yang dapat
dilakukan orang ketika mendefinisikan sebuah konsep. Tautologi adalah satu
definisi yang tak dapat dipertahankan secara logis karena hanya menyatakan
dengan cara lain apa yang telah terkandung dalam hal yang seharusnya
dijelaskan. Mari kita konkretkan pengertian ini. Seorang guru bertanya pada
muridnya seperti apakah seekor kucing itu, dan murid itu menjawab bahwa seekor
kucing adalah ... seekor kucing. Jawaban seperti ini tidak akan dianggap
mencerminkan kepandaian yang tinggi. Walau bagaimanapun, sebuah kalimat
biasanya bertujuan untuk menyatakan sesuatu kepada kita, dan kalimat itu
tidaklah menyatakan apa-apa sama sekali. Tapi, definisi yang tidak terlalu
cemerlang tentang makhluk berkaki empat ini adalah satu ekspresi sempurna dari
hukum identitas dalam segala kemuliaannya. Pemuda tadi tentunya segera jatuh ke
peringkat terbawah di kelasnya tapi, selama lebih dari dua ribu tahun, para
profesor yang paling terpelajarpun telah dengan puas memperlakukan prinsip itu
sebagai kebenaran filsafati yang tertinggi.
Apa yang diajarkan oleh hukum identitas pada kita adalah bahwa
sesuatu adalah sesuatu itu sendiri. Kita tidak maju selangkahpun dari titik
itu. Kita tetap tinggal di tingkat abstraksi yang paling umum dan kosong.
Karena kita tidak dapat mempelajari apapun tentang realitas konkret dari objek
yang kita renungkan, tentang sifat-sifat dan hubungan-hubungannya. Seekor
kucing adalah seekor kucing; saya adalah saya; Anda adalah Anda; sifat manusia
adalah sifat manusia; segala hal adalah apa adanya. Kekosongan dari pernyataan
semacam ini begitu mencolok. Ia adalah ekspresi yang paling bergairah dari
pemikiran yang sepihak, formalistik dan dogmatik.
Apakah dengan demikian hukum identitas sama sekali tidak sahih?
Tidak juga. Hukum ini memiliki beberapa penerapan, tapi sangatlah terbatas,
tidak seperti yang dibayangkan orang. Hukum-hukum logika formal dapat berguna
dalam memperjelas beberapa konsep, menelaah, memberi label, mengkatalog dan
mendefinisikan. Ia memiliki sifat kerapian. Ini ada gunanya. Untuk fenomena
sehari-hari yang normal dan sederhana, hukum-hukum ini masih berlaku. Tapi
ketika kita berurusan dengan gejala yang lebih kompleks, yang melibatkan
pergerakan, lompatan mendadak, perubahan kualitatif, hukum-hukum ini menjadi
sama sekali tidak memadai dan, nyatanya, runtuh sama sekali.
Kutipan dari Trotsky berikut dengan gemilang menyimpulkan garis
argumen Hegel dalam hubungannya dengan hukum identitas:
“Di sini saya akan mencoba menjabarkan substansi dari masalah
inidalam bentuk yang sangat konkret. Logika Aristotelian dari silogisme
sederhana dimulai dari proposisi bahwa 'A' adalah sama dengan 'A'. Postulat ini
diterima sebagai sebuah aksioma untukberbagai tindakan manusia yang praktis dan
generalisasi-generalisasidasar. Tapi pada kenyataannya 'A' tidaklah sama dengan
'A'. Hal ini mudah dibuktikan jika kita mengamati kedua huruf ini di bawah
sebuah lensa – keduanya akan berbeda satu dari yang lain. Tapi, kita dapat
membantah, bahwa persoalannya bukanlah mengenai ukuran atau bentuk huruf-huruf
itu, karena mereka hanyalah sebuah simbol bagi kuantitas yang sama, misalnya,
satu pon gula. Bantahan ini tidak mengenai sasarannya; pada kenyataannya satu
pon gula tidaklah sama dengan satu pon gula – sebuah timbangan yang lebihakurat
akan membuktikan perbedaan ini. Lagi-lagi kita dapat membantah: tapi satu pon
gula pasti sama dengan dirinya sendiri. Ini juga tidak benar – semua hal
berubah tanpa henti dalam ukuran, berat, warna, dan lain-lain. Mereka tidak
akan pernah sama dengan dirinya sendiri. Seorang dogmatis akan menjawab bahwa
satu pon gula akan sama dengan dirinya sendiri 'di satu momen tertentu'.
Selain nilai praktis aksiomaini yang meragukan, ia juga tidak
sanggup menjawab kritik teoritik. Bagaimana kita harus memahami kata 'momen'?
Jikalaupun ia dipahami sebagai sebuah jangka waktu yang kecil tak berhingga,
selama waktu itu satu pon gula itu masih tetap akan mengalami proses perubahan.
Atau 'momen' ini hanyalah sebuah abstraksi matematika murni, yaitu waktu nol?
Tapi segala sesuatu hadir di dalam waktu; dan keberadaan itu sendiri adalah
sebuah proses perubahan yang tanpa henti; waktu oleh karenanya adalah sebuah
elemen fundamental dari keberadaan. Dengan demikian aksioma 'A' adalah sama
dengan 'A' menyatakan bahwa sesuatu akan sama dengan dirinya sendiri jika ia
tidak berubah sama sekali, yaitu, jika ia tidak ada.
“Sekilas,tampaknya
'detil-detil kecil' semacam itu tidaklah berguna. Pada kenyataannya, mereka
memiliki signifikansi yang menentukan. Di satu sisi aksioma 'A' adalah sama
dengan 'A' adalah titik awal dari semua pengetahuan kita, dan di lain pihak
titik awal dari semua kekeliruan dalam pengetahuan kita. Penggunaan aksioma 'A'
adalah sama dengan 'A' hanya dimungkinkan dalam batasan-batasan tertentu.
Ketika kita dapat mengabaikan perubahan kuantitatif pada 'A' sangatlah kecil
sehingga bisa diabaikan untuk tugas yang ada di tangan kita, maka kita dapat
menganggap bahwa 'A' adalah sama dengan 'A'. Contohnya seorang pembeli dan
penjual dalam menimbang satu pon gula. Kita juga mengukur panas matahari dengan
cara yang sama. Sampai akhir-akhir ini, kita memahami daya beli dolar dengan
cara ini juga. Tapi perubahan kuantitatif yang melebihi batasan tertentu akan
berubah menjadi kualitatif. Satu pon gula yang direndam dalam air atau bensin
akan berhenti menjadi satu pon gula. Satu dolar yang dipegang oleh seorang
presiden akan berhenti menjadi satu dolar. Untuk menentukan titik kritis di
mana kuantitas berubah menjadi kualitas adalah salah satu tugas yang terpenting
dan tersulit dalam segala bidang pengetahuan, termasuk sosiologi ....
“Hubungan antara
pemikiran dialektik dengan pemikiran vulgar adalah sama dengan hubungan antara
film dengan foto. Film tidaklah menolak keberadaan foto tapi justru
menggabungkan satu rangkaian foto tersebut menurut hukum-hukum gerak.
Dialektika bukanlah penyangkalan terhadap silogisme, tapi mengajari kita untuk
menggabungkan silogisme dengan cara tertentu sehingga membawa pemahaman kita
lebih dekat pada realitas yang terus-menerus berubah. Hegel, dalam bukunya,
Logic, memformulasikan serangkaian hukum: perubahan dari kuantitas menjadi
kualitas, perkembangan melalui kontradiksi, konflik antara isi dan bentuk,
interupsi kontinuitas, perubahan dari kemungkinan menjadi keniscayaan, dan
lain-lain, yang sama pentingnya untuk pemikiran teoritik seperti halnya
silogisme penting untuk tugas-tugas yang lebih sederhana.”[14]
Begitu juta dengan
hukum yang ketiga, yang membuat orang harus menyepakati atau menolak satu hal,
bahwa satu hal haruslah hitam atau putih, hidup atau mati, “A” atau “B”. Segala
sesuatu tidak dapat menjadi keduanya pada saat bersamaan. Benar, bahwa tanpa
asumsi semacam itu mustahillah muncul satu pemikiran yang jelas dan konsisten.
Namun demikian, apa yang nampak merupakan kesalahan teoritik yang dapat
diabaikan cepat atau lambat akan membuat diri mereka dirasakan dalam praktek,
sering kali dengan dampak yang sangat merusak. Satu retakan yang sangat kecil
di sayap sebuah pesawat jet mungkin tampaknya dapat diabaikan, dan,
sesungguhnya, dapat diabaikan jika pesawat itu terbang dengan kecepatan rendah.
Namun, pada kecepatan yang benar-benar tinggi, kesalahan yang kecil ini dapat
mendorong terjadinya satu bencana. Dalam Anti-Dühring, Engels
menjelaskan kekurangan dari apa yang disebut hukum tanpa-antara:
“Bagi para penganut metafisik, segala hal dan citra
mental mereka, gagasan, bersifat terisolasi, hanya dapat diperiksa satu persatu
dan saling terpisah satu sama lain, statis, objek penelitian yang kaku dan
tidak akan berubah selamanya. Seorang penganut metafisika akan berpikir dalam
antitesa yang tidak mengenal nilai antara. Komunikasi yang dikenalnya adalah
'yang benar katakan benar; yang tidak katakan tidak; lebih dari itu adalah
keliru'. Baginya sesuatu hal hanya bisa ada atau tidak ada; satu hal tidak
dapat pada saat yang bersamaan menjadi dirinya sendiri dan menjadi hal lain.
Positif dan negatif mutlak terpisah dari yang lain; sebab dan akibat berdiri
sebagai antitesa yang kaku satu terhadap yang lain.
“Pada pandangan pertama cara berpikir ini terasa bagi kita
sebagai hal yang paling dapat diterima karena ia merupakan apa yang sering
disebut sebagai akalsehat. Namun akal sehat, sekalipun ia adalah tuan yang
terhormat di rumahnya sendiri, akan mendapati petualangan yang hebat kalau ia
berani mencoba untuk keluar ke dunia riset yang maha luas. Cara berpikir
metafisik, yang dapat dibenarkan dan bahkan perlu dalam sejumlah bidang yang
cakupannya tergantung dari sifat objek tersebut, niscaya membentur satu batasan
– cepat atau lambat. Melebihi batasan itu, ia akan menjadi sepihak, terbatas,
abstrak, tersesat dalam kontradiksi yang tak terpecahkan, karena dalam
kehadiran hal-hal yang terpisah ia melupakan kesalingterhubungan mereka satu
sama lain; karena dalam kehadiran keberadaan mereka ia melupakan bagaimana
mereka lahir dan bagaimana mereka lenyap; karena dalam keadaan mereka yang diam
ia melupakan pergerakan mereka. Cara berpikir metafisik tidak dapat membedakan
kayu dari pohon. Untuk keperluan sehari-hari kita tahu dan dapat dengan tegas
menyatakan, misalnya, apakah seekor hewan hidup atau mati. Tapi, setelah
mengamati lebih jauh, kita akan menemukan bahwa hal ini sering kali menjadi
persoalan yang sangat rumit, seperti yang sering dihadapi para juri di
pengadilan. Mereka telah memukuli kepala mereka dengan sia-sia dalam
kebingungan untuk menentukan batasan rasional di mana kita dapat mengatakan
bahwa pengguguran terhadap janin di rahim seorang ibu adalah sebuah pembunuhan.
Sama mustahilnya untuk menentukan saat tepat kematian, karena fisiologi membuktikan
bahwa kematian bukanlah sebuah gejala yang mendadak dan spontan, tapi merupakan
sebuah proses yang berkepanjangan.
“Dalam cara yang
sama, setiap makhluk organik pada segala saat adalah sama dan sekaligus tidak
sama; tiap saat ia mencerna materi yang dipasok dari luar dan membuang materi
lain dari dalam tubuh; tiap saat beberapa sel dalam tubuhnya mati dan yang lain
memperbaharui diri; cepat atau lambat materi dalam tubuh akan menjadi sama
sekali baru dan digantikan oleh molekul-molekul materi yang lain, sehingga tiap
makhluk organik adalah selalu menjadi dirinya sendiri, dan sekaligus sesuatu
yang bukan dirinya sendiri.”[15]
Hubungan antara dialektika dan logika formal dapat
diperbandingkan dengan hubungan antara mekanika kuantum dan mekanika klasik.
Mereka tidak saling bertentangan satu sama lain melainkan saling melengkapi.
Hukum-hukum mekanika klasik tetap berlaku untuk sejumlah besar operasi. Walau
demikian, hukum-hukum itu tidak dapat diterapkan dengan cukup baik di dunia
partikel sub-atomik, yang melibatkan kuantitas yang luar biasa kecilnya dan
kecepatan yang luar biasa besarnya. Mirip dengan itu, Einstein juga tidak
menggantikan Newton, tapi hanya mengungkap batasan-batasan di mana sistem
Newton tidak lagi berlaku.
Logika formal (yang telah mendapatkan kekuatan prasangka populer
dalam bentuk “akal-sehat”) tetap berlaku untuk serangkaian pengalaman
sehari-hari. Bagaimanapun, hukum-hukum logika formal, yang berangkat dari
pandangan yang pada hakikatnya statis, niscaya runtuh ketika berurusan dengan
fenomena-fenomena yang lebih kompleks, berubah dan kontradiktif. Dengan
menggunakan istilah teori chaos, persamaan “linear” dari logika formal tidak
dapat menangani proses yang turbulen yang dapat diamati terjadi di mana-mana di
alam, masyarakat dan sejarah. Hanya metode yang dialektik yang akan mampu
menangani hal ini.
Logika dan Dunia Sub-atomik
Kekurangan logika tradisional telah dipahami oleh para filsuf
lain, yang sama sekali tidak memeluk sudut pandang dialektika. Secara umum, di
dunia Anglo-Saxon, ada tradisi kecenderungan yang lebih besar terhadap
empirisme dan pemikiran induktif. Walau demikian, ilmu pengetahuan membutuhkan
satu kerangka kerja filsafati yang akan memungkinkan mereka menilai
hasil-hasilnya dan mengarahkan langkahnya melalui tumpukan fakta dan statistik
yang membingungkan, seperti benang Ariadne yang membimbing sang pahlawan di
dalam labirin. Tidak cukup kalau kita sekedar mengandalkan “akal-sehat”, atau
“fakta”.
Pemikiran silogistik,
metode deduktif abstrak, lebih banyak merupakan tradisi Prancis, terutama sejak
Descartes. Tradisi Inggris sangatlah berbeda, karena kuat dipengaruhi
empirisme. Dari Inggris, aliran pemikiran ini dimasukkan ke Amerika Serikat, di
mana aliran ini kemudian memiliki akar yang kokoh. Maka, cara berpikir
deduktif-formal sama sekali bukan ciri dari tradisi intelektual Anglo-Saxon. “Sebaliknya,” tulis Trotsky, “kita mungkin dapat mengatakan bahwa
[aliran] pemikiran ini dibedakan oleh sikap melecehkan dari kaum
empiristerhadap silogisme murni, yang tidak menghambat orang-orang Inggris
untuk membuat berbagai penaklukan besar dalam banyak bidang penyelidikan
ilmiah. Jika kita sungguh-sungguh menelaah ini seperti yang kita harusnya
lakukan, maka mustahillah untuk tidak sampai pada kesimpulan bahwa peremehan
kaum empiris terhadap silogisme adalah bentuk primitif dari pemikiran dialektis.”
Empirisme, dalam sejarahnya, memainkan baik peran progresif
(dalam perjuangan melawan agama dan dogmatisme abad pertengahan) dan juga peran
negatif (interpretasi yang teramat sempit terhadap materialisme, penolakan
terhadap penggeneralisasian teoritik yang luas). Pernyataan Locke yang terkenal
bahwa tidak sesuatu pun dalam nalar yang tidak diturunkan dari indera
mengandung benih dari ide yang pada dasarnya tepat, tapi disajikan dengan cara
yang sepihak, yang dapat, dan sesungguhnya telah, mengakibatkan
konsekuensi-konsekuensi yang berbahaya terhadap perkembangan filsafat
selanjutnya. Dalam hubungannya dengan ini, Trotsky menulis beberapa saat
sebelum ia dibunuh:
“'Kita tidak tahu segala
sesuatu pun tentang dunia selain apa yang disediakan melalui pengalaman.' Ini
tepat jika kita tidak memahami pengalaman dalam makna kesaksian langsung yang
disajikan oleh kelima indera kita. Jika kita mereduksi materi menjadi sekedar
pengalaman dalam makna empirik yang sempit, maka mustahillah bagi kita untuk
sampai pada penilaian apapun mengenai asal-usul berbagai spesies atau, lebih
muskil lagi, tentang bagaimana kerak bumi terbentuk. Pernyataan bahwa basis
bagi segala sesuatu adalah pengalaman adalah pernyataan yang terlalu jauh atau
justru pernyataan yang tidak bermakna sama sekali. Pengalaman adalah
kesalingterhubungan aktif antara subjek dan objek. Penelaahan pengalaman di
luar kategori ini, yaitu, di luar lingkungan material objektif dari sang
penyelidik yang diposisikan berhadapan dengan pengalaman itu yang, dari sudut
pandang lain, merupakan bagian dari lingkungan itu sendiri – dengan melakukan
hal ini kita meleburkan pengalaman ke dalam kesatuan tak berbentuk, di mana di
sana tidak ada subjek maupun objek melainkan hanya satu rumusan mistis tentang
pengalaman. 'Percobaan' atau 'pengalaman' yang semacam ini hanya ada pada
seorang bayi yang masih dikandung oleh ibunya, sayangnya bayi itu tidak
memiliki kesempatan untuk membagikan pada kita kesimpulan ilmiah dari
pengalamannya.”[16]
Prinsip
ketidakpastian yang berlaku dalam mekanika kuantum tak dapat diterapkan pada
objek-objek sehari-hari, tapi hanya pada atom-atom dan partikel-partikel
sub-atomik. Partikel-partikel sub-atomik mematuhi hukum-hukum yang berbeda
dengan dunia “sehari-hari”. Mereka bergerak dengan kecepatan yang luar biasa,
misalnya, 1.500 meter per detik. Mereka dapat bergerak ke berbagai arah pada
saat yang bersamaan. Karena situasi ini, bentuk-bentuk pemikiran yang berlaku
pada pengalaman sehari-hari tidak lagi sahih. Logika formal tidak berguna di
sini. Kategorinya yang hitam-putih, ya-atau-tidak, ambil atau tinggalkan sama
sekali, tidak mampu berhubungan dengan realitas yang fluid, tidak stabil dan
kontradiktif ini. Satu-satunya hal yang bisa kita katakan adalah bahwa mungkin
ada gerak ini dan itu, dengan kemungkinan-kemungkinan yang jumlah tak
terhingga. Bukannya berangkat dari premis-premis logika formal, mekanika
kuantum malah melanggar Hukum Identitas dengan menyatakan “non-individualitas” dari tiap partikel. Hukum
Identitas tidak dapat diterapkan pada tingkatan ini, karena 'identitas' dari
tiap partikel secara individu tidak dapat ditetapkan dengan pasti. Dari sanalah
muncul perdebatan panjang tentang “gelombang” atau “partikel”. Tentunya elektron tidak dapat memiliki
kedua sifat itu sekaligus! Di sini “A” ternyata adalah sama dengan “bukan-A”
dan bahkan “A” dapat sama dengan “B”. Dari sinilah muncul kemustahilan untuk
“menetapkan” posisi dan kecepatan elektron dengan cara logika formal yang rapi
dan mutlak itu. Itu adalah satu masalah serius bagi logika formal dan
“akal-sehat”, tapi bukan masalah bagi dialektika atau untuk mekanika kuantum.
Sebuah elektron memiliki sekaligus kualitas baik dari gelombang maupun dari
partikel, dan hal ini telah ditunjukkan melalui berbagai percobaan.
Di tahun 1932,
Heisenberg mengajukan bahwa proton di dalam inti atom diikat oleh sesuatu yang
disebutnya sebagai gaya pertukaran (exchange force). Hal
ini menunjukkan bahwa proton dan neutron terus-menerus saling bertukar
identitas. Tiap partikel yang kita amati akan selalu berada dalam keadaan fluks
[terus berubah], dalam proses berganti identitas dari sebuah proton menjadi
neutron atau sebaliknya. Hanya dengan cara ini inti atom dapat terikat menjadi
satu. Sebelum sebuah proton dapat ditolak oleh proton lain, ia berubah menjadi
neutron, dan sebaliknya. Proses di mana partikel-partikel bertukar menjadi
lawannya berlangsung tanpa henti, sehingga mustahil untuk mengatakan pada saat
tertentu apakah satu partikel adalah sebuah proton atau neutron. Pada
kenyataannya, ia adalah keduanya sekaligus – ia adalah dirinya sendiri dan
sekaligus bukan dirinya sendiri.
Pertukaran identitas
antar elektron tidaklah bermakna satu pertukaran tempat yang sederhana,
melainkan satu proses yang rumit di mana elektron “A” saling rasuk dengan
elektron “B” untuk menghasilkan satu partikel yang, katakanlah, 60% “A” dan 40%
“B” atau sebaliknya. Belakangan, mereka mungkin secara utuh telah bertukar
identitas, dengan semua “A” di sini dan semua “B” di sana. Aliran ini kemudian
akan dibalik dalam satu osilasi permanen, melibatkan satu saling-tukar yang
berirama atas identitas elektron, yang berlangsung tanpa henti. Hukum Identitas
yang kuno, kaku dan statis itu lenyap sepenuhnya di dalam
identitas-dalam-perbedaan yang terus berdenyut ini, hal yang mendasari semua
keberadaan ini, dan yang telah mendapat penyataan ilmiahnya melalui prinsip
eksklusif Pauli (Pauli’s principle of exclusion).
Maka, dua setengah
milenia kemudian, prinsip Heraclitus “segala hal mengalir” ternyata mendapat
pembenarannya – secara harfiah. Di sini kita mendapati, bukan hanya keadaan
yang terus berubah dan bergerak, tapi juga satu proses kesalingterhubungan
universal, dan kesatuan dan kesalingrasukan dari hal-hal yang bertentangan.
Elektron-elektron bukan hanya saling mengondisikan satu sama lain, tapi mereka
sungguh-sungguh saling bertukar dan saling berubah menjadi yang lain. Betapa
jauhnya ini dari alam semesta idealisnya Plato yang statis dan tetap selamanya
itu! Bagaimana seseorang menetapkan posisi dari sebuah elektron? Dengan
melihatnya. Dan bagaimana menentukan momentumnya? Dengan melihatnya dua kali.
Tapi, dalam jangka waktu itu, bahkan dalam jangka waktu yang kecil tak
berhingga sekalipun, elektron itu telah berubah, dan bukan lagi seperti yang dilihat
pertama kalinya. Ia sudah menjadi sesuatu yang lain. Ia adalah sekaligus sebuah
partikel (satu “benda”, satu “titik”) dan sebuah gelombang (satu “proses”, pergerakan, menjadi). Ia adalah dirinya
sendiri dan sekaligus bukan dirinya sendiri. Metode logika formal yang kuno
tentang hitam dan putih, yang digunakan dalam mekanika klasik, tidak mampu
menghasilkan apa-apa di sini karena sifat dasar dari fenomena itu sendiri.
Di tahun 1963 para fisikawan Jepang mengajukan bahwa satu
partikel yang teramat kecil, yang dikenal sebagai neutrino, berubah
identitasnya sejalan dengan perjalanannya menempuh ruang pada kecepatan yang
amat tinggi. Pada satu titik, ia adalah elektron-neutrino, pada saat yang lain,
ia adalah muon-neutrino, pada titik yang lain lagi, ia adalah tauon-neutrino,
dst. Jika hal ini benar, hukum identitas, yang sudah babak belur di sana-sini,
akan dihajar dengan sebuah pukulan pamungkas. Pandangan yang kaku dan
hitam-putih semacam itu akan terasa amat dangkal ketika berhadapan dengan
fenomena kompleks dan kontradiktif seperti yang digambarkan oleh sains modern.
Logika Modern
Di abad ke-19, ada
sejumlah upaya untuk memperbaharui logika (George Boyle, Ernst Schröder, Gotlob
Frege, Bertrand Russell dan A. N. Whitehead). Tapi, selain memperkenalkan simbol-simbol,
dan beberapa penataan di sana-sini, tidak terdapat perubahan yang mendasar di
sini. Banyak klaim besar yang dibuat, contohnya oleh para filsuf linguistik,
tapi tidak terdapat banyak basis untuk mereka. Semantik (yang berurusan dengan
kesahihan sebuah argumen) dipisahkan dari sintaksis (yang berurusan dengan
apakah sebuah kesimpulan dapat ditarik dari aksioma dan premis tertentu). Ini
dianggap sebagai sesuatu yang baru, padahal hanya merupakan pernyataan ulang
dari pembagian kuno, yang telah akrab bagi orang-orang Yunani Kuno, antara
logika dan retorika. Logika modern didasarkan pada hubungan logis di antara
seluruh kalimat. Pusat perhatiannya telah bergeser dari silogisme menuju
argumen-argumen yang hipotetikal dan disjungtif. Ini bukanlah satu lompatan
besar. Kita dapat mulai dengan kalimat (penilaian) dan bukannya silogisme.
Hegel melakukan ini dalam Logic. Bukannya
sebuah revolusi besar dalam pemikiran, ia malah lebih mirip mengocok ulang satu
tumpukan kartu yang telah kusut karena dipakai berkali-kali.
Dengan menggunakan
analogi fisika yang superfisial dan tidak tepat, apa yang disebut “metode
atomik” yang dikembangkan oleh Russell dan Wittgenstein (dan yang kemudian
disangkal sendiri oleh orang yang disebut terakhir itu) mencoba membagi bahasa
menjadi “atom-atomnya”. Atom dasar dari bahasa menurutnya adalah kalimat
sederhana, yang merupakan penyusun dari kalimat-kalimat kompleks. Wittgenstein
bermimpi mengembangkan satu “bahasa formal” untuk tiap ilmu pengetahuan –
fisika, biologi, bahkan psikologi. Kalimat-kalimat ditempatkan pada “uji kebenaran” yang berdasarkan hukum-hukum usang
tentang identitas, kontradiksi dan tanpa-antara. Dalam kenyataannya, metode
dasar yang digunakan masih tetap sama saja. “Nilai Kebenaran”adalah
satu masalah “atau ini ... atau itu”[17] (either...or),
masalah “Ya atau Tidak”, masalah “benar atau salah”. Logika baru ini dirujuk sebagai
kalkulus proporsional. Tapi pada kenyataannya sistem ini bahkan tidak mampu
menangani argumen-argumen yang sebelumnya dapat ditangani oleh silogisme yang
paling dasar (kategorikal). Sang Gunung telah melahirkan seekor tikus.
Kenyataannya adalah bahwa bahkan kalimat sederhanapun tidak
dapat dipahami, sekalipun ia dianggap sebagai “batu penyusun materi”
linguistik. Bahkan penilaian yang paling sederhana, seperti yang ditunjukkan
Hegel, mengandung pula kontradiksi. “Caesar adalah seorang manusia”, “Fido
adalah seekor anjing”, “pohon itu hijau”, semua menyatakan bahwa yang khusus
adalah sama dengan yang umum. Kalimat itu nampaknya sederhana, sebenarnya
tidak. Ini adalah tutup buku bagi logika formal, yang terus saja bersikeras
untuk mengabaikan semua kontradiksi, bukan hanya dari alam dan masyarakat, tapi
juga dalam pemikiran dan bahasa itu sendiri. Kalkulus proporsional berangkat
dari postulat yang sama dengan yang digunakan oleh Aristoteles di abad ke-4 SM,
yaitu, hukum identitas, hukum (tanpa-) kontradiksi, dan hukum tanpa-antara,
yang ditambahi hukum negasi-ganda. Hukum-hukum ini tidak dituliskan dengan
huruf biasa melainkan dengan simbol sebagai berikut:
1.
a) p = p
2.
b) p = ~ p
3.
c) p V = ~ p
4.
d) ~ (p ~ p)
Semuanya terlihat sangat manis, tapi tidaklah membuat perbedaan
sedikitpun dengan hakikat silogisme. Terlebih lagi, logika simbolis itu sendiri
bukanlah satu ide baru. Di tahun 1680-an, otak filsuf Jerman Leibniz yang
selalu subur itu telah menghasilkan satu logika simbolis, sekalipun ia tak
pernah memublikasikannya.
Dimasukkannya simbol-simbol ke dalam logika tidaklah membawa
kita selangkahpun lebih maju, karena simbol-simbol itu, pada gilirannya, cepat
atau lambat harus diterjemahkan ke dalam kata-kata dan konsep-konsep. Mereka
memiliki keuntungan seperti tulisan steno, lebih praktis untuk operasi teknis
tertentu, komputer dan beberapa hal lain, tapi hakikatnya masih persis sama
seperti yang sebelumnya. Jaringan simbol matematis yang membingungkan ini diiringi
oleh jargon-jargon yang benar-benar muluk, yang nampaknya memang dibuat
sehingga logika tidak akan pernah dipahami oleh orang-orang kebanyakan, seperti
kasta pendeta dari Mesir dan Babilonia yang menggunakan kata-kata dan simbol
kultus rahasia untuk menjaga agar pengetahuan mereka tidak bocor pada orang
lain. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa orang-orang Mesir dan Babilonia itu
memang benar-benar memiliki pengetahuan yang berharga untuk dimiliki, seperti
gerak benda-benda langit, apa yang tidak dimiliki sama sekali oleh para ahli
logika modern.
Istilah-istilah “predikat monadik”, “pengkuantifikasi”,
“variabel individu” dan lain-lain dsb., dirancang untuk memberi kesan bahwa
logika formal adalah satu ilmu yang tidak boleh dipandang enteng, karena ia tidak
akan pernah dapat dipahami oleh orang-orang kebanyakan. Sayangnya, nilai ilmiah
dari satu sistem kepercayaan tidak berbanding lurus dengan ketidakjelasan
bahasa yang dipergunakannya. Jika itu yang terjadi, tiap ahli mistik-religius
dalam sejarah akan menjadi ilmuwan yang setaraf dengan gabungan Newton, Darwin
dan Einstein sekaligus.
Dalam komedi karya
Moliere, Le Bourgeois Gentilhomme, M. Jourdain terkejut kala diberitahu bahwa
ia telah berbicara dalam prosa sepanjang hidupnya, tanpa ia sadari. Logika modern
hanya mengulangi semua kategori kuno, dengan dibubuhi beberapa simbol dan
istilah-istilah yang enak didengar, untuk menyembunyikan fakta bahwa sama
sekali tidak ada sesuatu pun hal baru dalam apa yang mereka nyatakan.
Aristoteles telah menggunakan “predikat monadik”(pernyataan
yang memberikan sebuah sifat pada individu) sejak berabad-abad lalu. Tidak
diragukan lagi, seperti M. Jourdain, ia akan menjadi girang ketika tahu bahwa
ia telah menggunakan Predikat Monadik sepanjang hidupnya, tanpa ia sadari. Tapi
hal itu tidak akan membuat perbedaan apapun atas apa yang tengah dikerjakannya.
Penggunaan label-label baru tidaklah mengubah isi dari semangkuk selai. Pun
penggunaan jargon tidak akan meningkatkan kesahihan satu bentuk pemikiran yang
sudah terkikis jaman.
Pada penghujung abad ke-20, logika formal telah mencapai batas
terakhirnya. Tiap penemuan baru dalam sains terus saja menghujamkan pukulan
pada logika itu. Sekalipun bentuknya diubah-ubah, hukum-hukum dasarnya tetap
tidak dapat berubah. Satu hal sudah jelas, perkembangan logika formal selama
seratus tahun terakhir, pertama melalui kalkulus proporsional, kemudian melalui
kalkulus proporsional rendah telah membawa subjek tersebut pada titik
penyempurnaan sejauh yang dimungkinkan. Kita telah mencapai sistem logika
formal yang paling komprehensif, sehingga penambahan lain tentunya tidak akan
menyajikan sesuatu pun yang baru. Logika formal telah menyatakan segala yang
dapat dinyatakannya. Jika kita berani mau jujur, ia telah mencapai tahap itu
beberapa waktu yang lalu.
Baru-baru ini, basis telah bergeser dari argumen ke kesimpulan
deduktif. Bagaimana “teorema logika diturunkan”? Ini adalah landasan yang amat
rapuh. Basis logika formal telah diterima tanpa pertanyaan selama berabad-abad.
Satu penyelidikan yang menyeluruh atas landasan teoritik dari logika formal
niscaya akan berakhir pada perubahan logika itu menjadi lawannya. Arend
Heyting, pendiri Aliran Matematika Intuisionis, menolak kesahihan dari beberapa
pembuktian yang digunakan dalam matematika klasik. Walau demikian, kebanyakan
ahli logika masih terus bersikeras untuk memeluk cara-cara logika formal yang
usang itu, seperti seorang yang bersikeras memeluk sebatang jerami ketika ia
sudah hampir tenggelam:
“Kami tidak percaya bahwa ada logika yang non-Aristotelian dalam
makna seperti adanya geometri yang non-Euklides, yaitu, satu sistem logika yang
mengasumsikan kebalikan dari prinsip-prinsip logika Aristotelian, prinsip
kontradiksi dan tanpa-antara, sebagai kebenaran, dan dapat menarik
kesimpulan-kesimpulan yang sahih daripadanya.”
Ada dua cabang utama
logika formal saat ini – kalkulus proporsional dan kalkulus predikat. Keduanya
berangkat dari aksioma, yang harus dianggap sebagai benar “dalam semua dunia yang mungkin ada”, di semua keadaan.
Ujian terakhirnya tetaplah kebebasan dari segala kontradiksi. Segala hal yang
kontradiktif akan dianggap sebagai “tidak sahih”. Tentu
hal ini memiliki beberapa penerapan, contohnya, pada komputer yang dirancang
untuk menjalankan prosedur ya atau tidak yang sederhana. Pada kenyataannya,
segala aksioma semacam itu adalah tautologi. Bentuk-bentuk kosong ini dapat
diisi dengan hakikat macam apapun juga. Keduanya diterapkan dengan cara yang
mekanistis dan memaksa terhadap segala subjek. Ketika persoalannya menyangkut
proses yang linear, keduanya memang berjalan dengan baik. Hal ini penting,
karena sejumlah besar proses dalam alam dan masyarakat benar berjalan dengan
cara ini. Tapi ketika kita sampai pada fenomena-fenomena yang lebih kompleks,
kontradiktif dan non-linear, hukum-hukum logika formal runtuh. Akan segera
nampak bahwa, jauh dari klaim mereka bahwa merekalah “kebenaran di semua dunia
yang mungkin ada”, mereka adalah, seperti kata Engels, sangat terbatas dalam
penerapan mereka, dan dengan cepat akan terkupas kedangkalannya dalam berbagai
situasi. Lebih jauh lagi, inilah situasi-situasiyang telah menyita perhatian
ilmu pengetahuan, khususnya bagian yang paling inovatif, di sebagian besar
waktu sepanjang abad ke-20.
__________________
Catatan Kaki
[1] Dikutip di A.
A. Luce, Logic, hal. 8.
[2] LCW, Vol. 38,
hal. 171.
[3] M. Donaldson,
Making Sense, hal. 98-9.
[4] M. Donaldson,
Children’s Minds, hal. 76.
[5] Trotsky,
Writings, 1939-40, hal. 400.
[6] A. A. Luce,
Logic, hal. 83.
[7] Kant, Critique
of Pure Reason, hal. 99, footnote.
[8] Engels, The
Dialectics of Nature, hal. 64-5.
[9] Feynman,
Lectures on Physics, chapter 1, hal. 2.
[10] Kant,
Prolegomena zu einer jeden künftigen Metaphysik, quoted in E. V. Ilyenkov,
Dialectical Logic, hal. 90.
[11] Engels,
Anti-Dühring, hal. 43.
[12] Trotsky,
Writings, 1939-40, hal. 399 dan 400.
[13] Trotsky, In
Defence of Marxism, hal. 65
[14] Trotsky, In
Defence of Marxism, hal. 63-66
[15] Engels,
Anti-Dühring, hal. 26-7.
[16] Trotsky,
Writings, 1939-40, hal. 401 dan 403.
[17] Kita akan
banyak bertemu dengan istilah ini di bagian-bagian selanjutnya. “Atau ini ...
atau itu” adalah terjemahan yang diberikan oleh Dr Fuad Hassan terhadap karya
Søren Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis Denmark, “Either ... Or”. Di
sini istilah itu menunjuk pada hukum ketiga dari logika Aristotelian yang
menyatakan bahwa sesuatu harus berupa A atau B, tidak bisa keduanya sekaligus.
[Catatan Penerjemah]
0 komentar:
Post a Comment